Lihat ke Halaman Asli

Wicahyanti Pratiti

Moody Writer who wants to write better

Dissonansi Kognitif: Merokok Itu Bahaya, Tapi Selingkuh Itu Berdosa

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Banyak orang yang tahu bahwa merokok adalah tidak sehat, tetapi mereka mengapa mereka tetap merokok? Kemungkinannya orang-orang ini tengah mengalami Dissonansi Kognitif.

APA ITU DISSONANSI KOGNITIF? Dissonansi Kognitif dikenal dalam istilah Psikologi , yang artinya adalah suatu kondisi ketidaknyamanan jiwa seseorang akibat ketidaksesuaian antara keyakinan dalam dirinya dengan sikap/ perilakunya (Merangkum dari Teori Leon Festinger). Sederhananya, saya menyebutnya sebagai ketidakkonsistenan antara pemikiran/persepsi dan tingkah laku.

Pernahkah anda mengalaminya? Saya yakin tiap orang pernah. Dan Teori Dissonansi Kognitif menemukan bahwa setiap orang yang pernah mengalami ketidakkonsistenan ini akan berupaya untuk mengurangi ketidaknyamanan dalam dirinya dengan caranya masing-masing. Orang memiliki 2 pilihan untuk mengurangi ketidaknyamanan ini, yaitu dengan mengubah persepsi atau mengubah perilaku. Pada gambar di atas, dicontohkan suatu Dissonansi Kognitif tentang Merokok. Dari contohdi atas menunjukkan bahwa pemikiran orang tersebut adalah BENAR, tetapi dia memiliki perilaku yang salah. Dengan demikian cara untuk mengatasi ketidaknyamanan tersebut SEHARUSNYA adalah dengan mengubah tingkah lakunya yang SALAH.

Akan tetapi terkadang, bukannya mengubah perilakunya yang salah, namun orang kebanyakan mengubah persepsinya. Dari contoh di atas, ada orang-orang yang untuk mengurangi Dissonansi Kognitif mereka justru mengubah PERSEPSI dari yang BENAR MENJADI SALAH. Misalnya: Mereka tetap merokok dengan mengubah persepsinya menjadi: Merokok tidak sehat, namun umur manusia di tangan Tuhan (PERSEPSI SALAH). Alhasil, mereka tetap merokok tanpa memiliki perasaan bersalah (PERILAKU SALAH). Persepsi yang salah tersebut dengan diikuti oleh Perilaku yang salah maka tidak lagi akan menyebabkan DISSONANSI KOGNITIF, tetapi sebaliknya menjadikan dirinya CONSONANT COGNITIF (suatu kekonsistenan antara pemikiran/persepsi dengan perilaku) yang tidak lagi menjadikan dalam dirinya suatu perasaan yang tidak nyaman.

Contoh lain dari Dissonansi Kognitif yang sangat fenomenal pada jaman sekarang : Mengapa orang masih selingkuh bila tahu itu berdosa? Mari kita mencoba menggambarkan kedua hal yang bertolak belakang ini melalui gambar di atas. Dissonansi Kognitif selalu terkait dengan PERSEPSI dan PERILAKU.

1.Persepsi:Selingkuh itu berdosa (RIGHT PERCEPTION)

2.Perilaku:Sekali-kali selingkuh tidak apa-apa (WRONG BEHAVIOUR)

Banyak orang yang merasa berdosa apabila dirinya pernah berselingkuh, itulah DISSONANSI KOGNITIF. Akan tetapi banyak juga orang yang berselingkuh tapi tidak merasa berdosa? Mengapa? Menurut saya, hal tersebut adalah karena orang tersebut mengubah persepsinya yang semula sudah BENAR (bahwa selingkuh itu berdosa) menjadi PERSEPSI SALAH (Menganggap selingkuh itu adalah hal biasa atau sudah biasa di jaman sekarang ini). Nah, apabila Persepsi SALAH bertemu dengan tingkah laku yang SALAH, maka orang tersebut sudah TIDAK LAGI mengalami Dissonansi Kognitif tetapi sebaliknya dia menjadikan dirinya CONSONANT COGNITIF (Membangun persepsi yang SALAH, sehingga dapat memaklumi tingkah lakunya yang SALAH) .

Lalu bagaimanakah seharusnya bila kita mengalami Dissonansi Kognitif? Caranya adalah dengan membangun PERSEPSI yang benar, agar perilaku kita mengikuti persepsi kita. Sehingga, berdasarkan Teori DISSONANSI KOGNITIF di atas, dapat saya simpulkan bahwa, pilihan untuk menjadi BENAR atau SALAH adalah tergantung kepada PERSEPSI atau PEMIKIRAN kita. Dalam hal mencari persepsi yang benar, menurut saya kita dapat menggunakan akal sehat, hati nurani serta kepercayaan agama kita sebagai dasar kita menentukan persepsi yang akan kita bangun.

Saya menyadari bahwa sayapun tidak selalu memiliki persepsi yang benar, tetapi mudah-mudahan saya serta kita semua diberikan kemampuan oleh Tuhan untuk dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta mencerminkannya dalam setiap perilaku kita.

Sebagaimana yang disampaikan oleh Lao Tzu,

A great nation is like a great man: When he makes mistake, he realises it. Having realised it, he admits it. Having admitted it, he corrects it. He considers those who point out his faults as his most benevolent teachers.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline