Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Ashidiqi

Content Writer

Hantu Kecil

Diperbarui: 12 Januari 2025   05:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto kafe oleh Igor Starkov (www.pexels.com)

Hujan deras mengguyur kota Jakarta, menciptakan simfoni berisik di atap kosan Rey. Di tengah kebisingan itu, Rey justru merasa hampa. Secangkir kopi yang mengepul di depannya tak mampu menghangatkan hatinya yang dingin. Ia merasa sendiri, terjebak dalam pusaran pikiran yang tak berujung.

Pikirannya melayang pada kejadian tadi siang. Presentasinya di kantor gagal total. Bukan karena materinya buruk, tapi karena Rey tiba-tiba diserang rasa cemas yang luar biasa. Lidahnya kelu, tangannya gemetar, keringat dingin membanjiri tubuhnya. Ia seperti kembali menjadi anak kecil yang ketakutan di depan kelas saat disuruh membaca puisi.

Rey menghela napas panjang. Ia benci perasaan ini. Rasa takut yang irasional, seolah ada hantu kecil yang selalu bersembunyi di sudut hatinya, siap menerkam kapan saja. Hantu kecil itu adalah inner child-nya, bagian diri Rey yang terluka dan tak pernah sembuh.

Rey ingat betul kejadian di masa kecil yang mungkin menjadi awal mula semua ini. Saat itu ia berusia tujuh tahun, bersemangat mengikuti lomba pidato. Ia sudah berlatih mati-matian, bahkan rela begadang menghafal teks pidato. Tapi saat tampil di depan umum, ia grogi setengah mati. Ucapannya terbata-bata, bahkan sempat lupa beberapa bagian.

Alih-alih mendapat dukungan, Rey justru ditertawakan oleh teman-temannya. Ia merasa malu, kecil, dan tidak berharga. Sejak saat itu, rasa takut untuk tampil di depan umum selalu menghantuinya.

"Kenapa sih gue nggak bisa kayak orang lain? Kenapa gue harus selalu takut?" gumam Rey frustasi.

Tiba-tiba, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk dari Dinda, sahabatnya. "Rey, lo kenapa nggak ikut nongkrong tadi? Katanya mau cerita soal presentasi lo."

Rey terdiam sejenak. Ia sebenarnya ingin bercerita pada Dinda, tapi entah kenapa ia selalu ragu. Ia takut dianggap lemah, cengeng, atau bahkan ditertawakan.

Namun, kali ini Rey merasa berbeda. Ia lelah terus bersembunyi dari rasa takutnya. Ia ingin bebas, ingin sembuh. Dengan jari gemetar, ia mengetik pesan balasan untuk Dinda. "Din, gue butuh cerita. Boleh ketemu sekarang?"

Di sebuah kafe yang hangat dan nyaman, Rey akhirnya mencurahkan isi hatinya pada Dinda. Ia bercerita tentang kegagalan presentasinya, tentang hantu kecil yang selalu menghantuinya, tentang luka masa kecil yang tak kunjung sembuh.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline