Lihat ke Halaman Asli

Abdul Muis Ashidiqi

Content Writer

Asap Rokok dan Pengangguran

Diperbarui: 7 Januari 2025   02:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto orang merokok (www.pexels.com)

Asap rokok mengepul dari bibirku, membentuk lingkaran-lingkaran abstrak yang segera lenyap ditiup angin sore. Pandanganku menerawang jauh ke depan, mengikuti jejak asap itu menuju cakrawala yang mulai memerah. Di ujung gang sempit, anak-anak kecil berlarian riang, sesekali terdengar tawa renyah mereka. Ah, andai saja hidup sesederhana itu.

Aku hela napas panjang. Rokok kretek murah ini seolah jadi teman setia, menemani di kala sepi menggerogoti. Sejak dipecat dari pabrik tiga bulan lalu, hidupku memang tak karuan. Gaji pas-pasan yang dulu rutin mengisi dompet, kini tinggal kenangan.

Dulu, setiap pagi aku bangun dengan semangat. Bergegas mandi, sarapan ala kadarnya, lalu naik angkot menuju pabrik. Rutinitas membosankan memang, tapi setidaknya ada kepastian. Ada jaminan untuk makan, untuk membayar kontrakan sempit ini, untuk sesekali mentraktir adikku bakso gerobak di pinggir jalan.

Sekarang? Jangankan mentraktir adik, untuk makan sendiri saja susah. Kadang aku terpaksa mengganjal perut dengan mi instan, itupun kalau ada uang. Lebih sering aku menahan lapar, menunggu kiriman dari ibu di kampung.

Rasanya tak adil. Aku sudah berusaha keras, sekolah tinggi-tinggi, dapat gelar sarjana teknik. Tapi apa? Gelar itu tak menjamin apa-apa. Malah jadi bahan tertawaan tetangga. "Sarjana kok nganggur," sindir mereka dengan nada mengejek.

Aku benci tatapan iba mereka. Benci pertanyaan basa-basi yang menusuk hati. "Kerja di mana sekarang, Dik?" seolah sengaja mengorek luka lama. Aku lebih memilih mengurung diri di kamar, menghindari interaksi dengan dunia luar.

Kadang aku merenung, di mana letak kesalahanku? Apakah aku kurang pintar? Kurang rajin? Atau memang nasibku sedang sial? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar-putar di kepala, tanpa jawaban yang pasti.

Kegagalan ini seperti lubang hitam yang menyedot semua harapanku. Aku merasa tak berguna, seperti sampah masyarakat. Ingin rasanya menyerah saja, pasrah pada keadaan. Tapi jauh di lubuk hati, ada secercah api yang masih menyala. Api semangat untuk bangkit, untuk membuktikan pada dunia bahwa aku bukan pecundang.

Aku teringat pesan ibu, "Nak, hidup itu seperti roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Yang penting jangan pernah putus asa. Teruslah berusaha, berdoa, dan percayalah pada dirimu sendiri."

Kata-kata sederhana itu bagai air di tengah gurun pasir. Memberi sedikit kesejukan di tengah kegersangan hidupku. Ya, aku tak boleh menyerah. Aku harus bangkit, mencari jalan keluar dari kemelut ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline