Lihat ke Halaman Asli

Pembuktian “Si Tukang Insinyur” Memimpin KPK

Diperbarui: 25 Mei 2016   10:58

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak dapat dipungkiri telah menjadi ujung tombak dalam memerangi korupsi di Indonesia. Meskipun institusi penegak hukum lain seperti Polri dan Kejaksaan memiliki kewenangan dan tugas yang sama dalam memberantas kejahatan luar biasa itu, namun citra KPK lebih bersih ketimbang institusi penegak hukum lainnya.

Citra kuat KPK bisa dibilang menguat ketika nama Abraham Samad muncul ke permukaan publik dan menjadi ketua KPK di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketika itu, dosen Universitas Hasanudin (UNHAS) itu berhasil memenjarakan para petinggi partai politik seperti mantan Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum PPP Suryadhama Ali, dan Presiden PKS Lutfi Hasan Ishaq.

Lebih hebatnya KPK berani “menyikat” orang-orang yang merupakan kader partai yang saat itu berkuasa yaitu Partai Demokrat, seperti Andi Malaranggeng yang saat itu menjabat sebagai Menpora, Bendahara Umum Partai Demokrat Nazzarudin, dan Anggota DPR Fraksi Demokrat Angelina Sondakh. Meskipun pada akhirnya Abraham Samad harus mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Ketua KPK karena tersandung kasus dokumen palsu, citra KPK tidak luntur di mata publik.

Saat ini, tongkat kepemimpinan diambil alih oleh Agus Rahardjo yang notabene bukan berlatar belakang praktisi hukum, melainkan seorang Insinyur Teknik Sipil. Di awal kepemimpinannya, KPK memberikan “hadiah” kepada publik akan aksinya yang berhasil menangkap oknum jaksa di Jawa Barat karena menerima suap dari terdakwa dalam kasus korupsi BPJS di provinsi tersebut.

Puja-puji pun berdatangan dari berbagai kalangan karena baru saat ini KPK menangkap oknum jaksa. Namun euforia akan keganasan KPK tidak berlangsung lama karena KPK ditantang untuk menangkap jaksa di Kejati DKI yang diduga memeras oknum di PT Abipraya.

Cerita ini bermula ketika oknum di Kejati DKI mengirim surat penyidikan dugaan korupsi yang terjadi pada tahun 2011-2912 ke Direktur Keuangan Abipraya bernama Sudi Wantoko. Tidak lama berselang, oknum jaksa ini mengirimkan seorang perantara bernama Marudut untuk bernegosiasi agar kasus dugaan korupsi ini dihentikan dengan syarat Sudi bersedia memberikan uang sebesar Rp 2,5 miliar.

GM Pemasaran Abipraya bernama Dandung Pamularno ingin membantu Sudi dengan memimjam uang perusahaan sebesar Rp 2,5 miliar yang rencananya akan diserahkan kepada jaksa melalui Marudut. Namun sial, saat penyerahaan uang tersebut di salah satu hotel di kawasan Cawang, Jakarta Timur, mereka ditangkap oleh tim penyidik KPK yang yang sudah mengintai transaksi tersebut.

Mereka dikenakan pasal Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 53 ayat (1) KUHP tentang penyuapan dan percobaan penyuapan.

Namun ternyata, target KPK sebenarnya bukanlah Sudi, Dandung, atau pun Marudut, melainkan oknum jaksa di Kejati DKI. Sebab, dalam rangkaian kasus penyuapan ini diperlukan kesaksian unsur penerima suap agar kasus ini bisa diadili di persidangan. Jika tidak, maka dakwaan pada ketiga tersangka akan lemah. Oleh karena itu, banyak kalangan meminta KPK segera mengumumkan tersangka dari pihak Kejati.

Publik pun patut menunggu sepak terjang KPK dalam menangani kasus ini. Jangan sampai KPK hanya “nyaring” di awal dan “melempem” setelahnya. Kasus dugaan penyuapan dan pemerasan jaksa di Kejati DKI ini seolah menjadi tantangan tersendiri bagi KPK. Jika tidak berhasil mengungkapnya bukan tidak mungkin kepercayaan publik akan luntur mengingat sejauh ini KPK belum menangkap “nama besar” untuk dipenjarakan.

Meskipun demikian, sebagai warga negara yang baik, penulis mendukung penuh apapun yang akan dilakukan KPK asalkan sesuai dengan koridor hukum dan memegang teguh amanat konstitusi. Jangan sampai lembaga antirasuah ini diintervensi oleh kekuatan lain sehingga penyidikan dirasa tidak lagi independen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline