Lihat ke Halaman Asli

Tari

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13879497581986183480

Suara kicau burung terdengar di penghujung sore itu. Suara artifisial yang bersumber dari telepon genggam, kabar dari seorang teman, “Besok sibuk gak?”, sebuah kalimat pembuka yang berlanjut ke sebuah ajakan untuk mengambil gambar sebuah kegiatan. Tentu saja, segera saya iyakan, toh setelah menimbang minggu-minggu belakangan, selalu ada saja kesibukkan. Kalau saja tidak disempat-sempatkan, jadilah saya tidak berakhir pekan.

Ini kali pertama saya dipertemukan kembali dengan kamera, setelah sekian lama tidak terpakai, sebuah kamera digital yang sudah usang, namun masih mumpuni dalam-jika meminjam istilah Roland Barthes-membunuh dan membangkitkan kembali sebuah objek. Ya, sebuah kamera yang sudah ketinggalan jaman, yang pada beberapa bulan belakangan ini lebih sering mengisi sebuah sudut kosong di dalam lemari kamar. Saya bukan seorang tukang foto yang menggantungkan hidup dari interaksi subyek (saya) dan objek yang saya bunuh dan bangkitkan kembali dengan perantara kamera, bukan juga fotografer pro yang kata banyak praktisi seminar-seminar fotografi, mengkonsepkan, menekan shutter, dan mengolah hasil fotonya dengan baik sehingga layak tampil dan jual. Katakan saja saya berada diantara keduanya, baik buruk, bernilai jual atau tidaknya, yang jelas ajakan kawan tadi berjasa dalam mempertemukan kembali saya dengannya (kamera).

Kawan saya seorang penari, salah seorang kawan yang saya ‘curigai’ tindak-tanduknya. Badannya kecil, suaranya lirih seperti berbisik ketika berbicara, kelakuannya jauh dari kesan ‘seradak-seruduk’ walaupun ketika berjalan, ia cukup cepat, dalam kesehariannya ia termasuk jarang menghabiskan waktu bersama layaknya teman-teman lain, tugas kuliahnya pun banyak yang tidak terselesaikan. Rupanya profesi sampingannya sebagai penjelas, terutama dua poin terakhir, Laras, begitu ia dipanggil, menghabiskan waktu sepulang kuliah di sanggar, menjaga mood kuliahnya tetap menyenangkan dengan cara lain, menari. Orang yang bertugas untuk mengambil gambar, sekaligus pimpinan sanggar tempat ia berlatih, sedang melakukan tugas yang tidak kalah pentingnya nun jauh disana, di Amerika, mempertontonkan properti budaya, tari-tarian Indonesia. Sekali lagi, tentu saja dengan senang hati, kuterima ajakannya untuk mendokumentasikan kegiatan pentas kelompoknya di panggung keraton.

Minggu pagi, telepon genggam saya berbunyi, mungkin sudah berkali-kali, benar saja, kawan tadi menghubungi, ia curiga saya tidak bisa bangun pagi. Langsung saya beranjak, cuci muka, gosok gigi, tidak lupa memasukkan alat produksi-kamera-lengkap dengan baterai yang sudah diisi penuh malam tadi. Kami bertemu di sebuah titik yang sudah di sepakati, ‘ngejaman’ begitu tempat ini disebut, salah satu tempat di dalam lingkungan keraton, ada tugu dengan jam berdiri di sana yang juga dapat ditemukan di beberapa tempat di Yogyakarta. Diajaknya saya menuju suatu tempat yang tidak pernah saya masuki sebelumnya, halaman belakang sebuah rumah dengan banyak ruangan dan pintu yang salah satunya mengarah ke panggung di tengah keraton. Tempat berdinding putih, dengan banyak kamar dan ruang luas di tengahnya ini ternyata merupakan backstage, salah satu (mungkin saja masih ada lagi) halaman belakang rumah Sultan.

[caption id="attachment_311137" align="alignnone" width="300" caption="Bersolek"][/caption]

[caption id="attachment_311133" align="alignnone" width="300" caption="Berlatih sejenak"]

13879491092106819202

[/caption]

Suasana sudah riuh pagi itu, dipojok ruangan, dua orang wanita sedang sibuk dengan seperangkat alat rias dan kostum, dipojok lainnya seorang penari laki-laki bersolek di depan cermin, membubuhi bedak di sekujur badannya yang berkulit kecoklatan, “lho bedake ngendi?”, ujar salah satu penari yang menanyakan bedak dalam kemasan yang sudah habis dipakainya. Penari lain sibuk dengan persiapannya masing-masing, penari priapun turun tangan merias teman penari wanitanya, “kurang garisnya, penari cino ki kudune ngene iki lho garis matanya”. Saya lebih banyak takjub mendengar, menyaksikan, sambil mendokumentasikan kesibukkan yang terjadi. Sebuah intersubjektifitas yang tidak kasat mata, entah bagaimana mereka dipertemukan dari banyak latar belakang yang berbeda, mengapa kemudian mereka dapat hadir dalam sebuah ruang dan waktu yang sama untuk sebuah tujuan dan kegiatan yang tidak banyak dipilih oleh anak muda seumuran mereka?

[caption id="attachment_311134" align="alignright" width="300" caption="Merias"]

13879492692052107687

[/caption] Pertunjukkan menjadi sebuah klimaks, kegiatan yang mereka nantikan, sebuah titik yang harus mereka lalui dan mereka sadari sejak memasuki belakang panggung dan merias dirinya sedemikian rupa, juga sebuah sintesis dari sebuah cita-cita dan latihan yang mereka jalani jauh hari sebelumnya. Kesalahan salah satu penari ketika sayapnya terlepas, tidak menciutkan nyali teman-temannya yang lain, raut muka optimis tetap terlihat di wajah masing-masing penari, “saya harus tampil, ini panggung saya juga”, pikir saya, mencoba menerjemahkan. Adegan demi adegan ditampilkan, mereka melakukan tugas dengan baik, menghibur sebagian pengunjung keraton hari minggu itu. Apresiasi yang tidak bisa berbohong ketika penonton bubar dengan senyum di wajahnya, sebagian masih memperbincangkan lakon yang disajikan, sebagian lainnya menyempatkan berfoto bersama para penari. [caption id="attachment_311131" align="aligncenter" width="300" caption="Memasuki panggung"]

13879483742141911598

[/caption]

[caption id="attachment_311138" align="alignleft" width="300" caption="Bersiap "]

1387949930797945149

[/caption] Ruang di belakang panggung kembali riuh dengan ekspresi yang berbeda, kepuasan, kelegaan yang terpancar melalui obrolan dan ekspresi penarinya. Kekecewaan salah seorang penari ketika sayap yang dipakai terlepas dari tubuhnya hanya sekedar bumbu yang sekejap hilang ditelan timpal guyon penari lain. Tidak lama, seorang wanita yang mereka panggil ‘Ndoro’, pimpinan sanggar sekaligus pengurus kesenian di keraton, juga kerabat Sultan, membagikan uang kepada para pemain, penari, penabuh, dan kru panggung, dengan sikap menyalami. Ndoro membagikan uangnya sembari menghaturkan terima kasih banyak dilanjutkan dengan permintaan maaf, uang yang dibagikan tidak seberapa, berkisar Rp. 2000-10000 tergantung perannya dalam pertunjukkan, “maaf ya, untuk beli bensin saja mungkin gak cukup”, kurang lebih begitu ujarnya dalam bahasa Jawa halus. Pemberi dan penerima terlihat sama senangnya, entah apa fungsi uang disana, “jangan lupa pisangnya, ngalap berkah”, sembari Ndoro menyodorkan sesisir pisang kepok kepada semua panitia, saya pun tidak terlewat.

[caption id="attachment_311140" align="alignleft" width="300" caption="Menyaksikan pertunjukkan tari"]

13879500591503285944

[/caption] Hadir dan menyaksikan, saya kemudian merasakan kebersamaan yang terbungkus kesibukan yang hadir dalam ruangan ini. Sebuah rasa nyaman yang beralasan walaupun sulit kemudian diverbalkan, bagaimana sekelompok anak muda berkspresi, mengaktualisasikan diri, dan merepresentasikannya melalui apa yang ia sukai. Uang kemudian menjadi sebuah bentuk yang absurd, bukan konkrit seperti sebagaimana umumnya ia dimaknai, bukan juga sebuah alat tukar dan bentuk apresiasi atas seni, serta menimbulkan pertanyaan lain bagi saya. Pertukaran seolah sudah seimbang tanpanya, kebutuhan dari masing-masing tercukupi melalui hubungan-hubungan yang tidak disadari, ketika saya dipertemukan dengan sebuah acara seorang kawan, dan ketika para penari dipertemukan dengan panggungnya.

[Warung Kopi di Tengah Kebun, Yogyakarta, Desember Hujan, Malam Natal 2013.]




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline