Lihat ke Halaman Asli

Batik Lasem: Harapan untuk Sebuah Pengabdian

Diperbarui: 26 Juni 2015   07:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13005902331124049350

[caption id="attachment_97111" align="alignleft" width="234" caption="wanita dan batik"]

1300559882161205107

[/caption]

Tangannya masih lihai, matanya masih cekatan walau kata-kata yang keluar dari mulutnya tidak terdengar dengan jelas, dan kerutan pertanda usianya yang tidak lagi muda. Perlahan namun pasti, dititinya selembar kain panjang berpola, pola dengan garis samar-samar yang terbentuk dari guratan-guratan pensil yang tidak lebih tebal dari pensil 2B. Membatik sudah dilakoninya selama berpuluh-puluh tahun, kejelian mata yang semakin lama memudar dan kelincahan jemari yang tidak selincah dulu, perlahan tergantikan dengan insting yang kian tajam seiring bertambahnya pengalaman.

[caption id="attachment_97113" align="alignright" width="147" caption="Celup"]

13005604641263130124

[/caption]

Kecintaanya terhadap batik tidak diragukan, berapa generasi sudah terlewati, menjadi saksi hidup perjalanan panjang pasang surutnya sebuah mahakarya yang konon pernah tersohor. Zaman dimana Lasem masih menjadi kota yang ramai dengan hiruk pikuknya pedagang dari seluruh penjuru negeri dengan berbagai warna kulit dan ciri fisik lain sampai kota ini berubah wajah seakan kehilangan jati diri sehingga terkesan sebagai kota yang ditinggalkan.

[caption id="attachment_97112" align="alignright" width="166" caption="Lincah"]

13005602851871794893

[/caption]

Kota ini pernah sangat ramai, mungkin lebih ramai dari sekedar daerah yang hanya dilintasi truk-truk besar pengangkut sembako. Tidak ada komoditi khas yang diperjualbelikan di sepanjang pusat pertokoan kota ini yang membuat orang dari berbagai penjuru daerah sekedar ingin berhenti dan kemudian berbelanja sedikit cinderamata. Desain baju bermotif dan bermodel kebarat-baratan ramai menghias etalase-etalase toko, karakter kartun asal negeri seberang lebih diminati generasi penerus. Harga yang lebih bersahabat dengan dompet dan model yang ibukota centris menjamin penampilan yang tidak ketinggalan jaman. Citra Lasem berubah, yang kemudian secara perlahan menggerus wajah batiknya.

Di sebuah sudut kota, di dalam bangunan putih yang disana-sini mulai berlumut, sang nenek bersama wanita-wanita yang umurnya kebanyakan tidak terpaut jauh, masih berkutat dengan berlembar-lembar kain yang mereka celup, lukis, dan jemur, sembari berharap masa keemasan batik Lasem akan kembali hadir menjadi identitas di kotanya. Semoga.

[caption id="attachment_97114" align="alignleft" width="180" caption="Teliti"]

1300560632809484522

[/caption] [caption id="attachment_97115" align="alignleft" width="187" caption="Hampar"]

1300560814756337563

[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline