Lihat ke Halaman Asli

Ode untuk Jakarta I

Diperbarui: 26 Juni 2015   16:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kota Metropolitan, katanya begitu. Sebuah istilah yang menjadi kebanggaan warga Jakarta, saya juga tentunya. Mengenal Jakarta sejak babeh, panggilan saya pada bapak, mengajak mengunjungi suatu tempat dimana garis cakrawala terlihat dengan jelas, ya, laut. Beliau bercerita banyak tentang kota dimana kami tinggal, tentang tempat-tempat bersejarah, landmark-landmark yang menjadi kebanggaan, sampai berbagai daerah di Jakarta yang wajahnya sudah berubah akibat tuntutan zaman.

[caption id="attachment_137895" align="alignright" width="200" caption="Tiang-tiang itu kian berdiri kokoh Foto: Wibisono TGP"][/caption] [caption id="attachment_137913" align="alignnone" width="270" caption="Banjir Kanal Timur, mega proyek Jakarta Dok: Wibisono TGP"][/caption]

Masih segar sepertinya kejadian beberapa tahun lalu. Ketika kegiatan kuliah sedang libur agak lama, saya kembali ke Jakarta untuk sebuah hajatan keluarga. Hujan deras mengantar keberangkatan sedari Jogja, curah hujan sepertinya sedang tinggi-tingginya. Sesampainya di Jatinegara, sudah saya duga sebelumnya, ternyata berita-berita di televisi bukanlah gosip, banjir sudah menyambut di depan gerbang stasiun. Yah..mau gimana lagi, tidak apa-apa lah, itung-itung saya sudah mencintaimu apa adanya duhai J-A-K-A-R-T-A.

Apa kabar kau Jakarta? Adakah perubahan pada wajahmu? Jakarta menjawab tanpa berbicara, sudah terlihat wajahmu yang baru, wajah yang dulu pernah tertulis di peta, disana tertulis “Rencana Proyek Banjir Kanal Timur”. “Oohh..ini to penampakan mesin anti banjirmu yang baru”, ujar saya dalam hati. Tidak tampak lagi kebun duren, pemukiman warga betawi dengan sebidang tanahnya yang cukup luas, bengkel-bengkel las dan ketok megic yang dulu berderet di sepanjang jalan Casablanca dan terusannya, yang ada hanyalah cekungan yang sangat besar yang memanjang, deretan tiang-tiang beton yang berdiri gagah dan sombong seolah dirinya lah yang benar, dan berhak “menghakimi” mereka mereka yang tergusurlah yang menyebabkan banjir di Jakarta.

[caption id="attachment_137898" align="alignleft" width="247" caption="Sebuah monumen bagi mereka yang tergusur Foto: Wibisono TGP"][/caption]

Dulu kau punya Ciliwung, sungai legendaris, sungai yang pernah menjadi ikon positif Kotamu, yang berfungsi sebagai kanal alami, berbagai sumber literatur lama malah memberinya gelar The Most Cleanest River in the World, tanpa tanda kutip. Belanda, negeri penjajah pun sadar, banjir adalah masalah mereka juga sejak pertama kali mendaulat Batavia sebagai tempat tinggal mereka yang dinilai mempunyai banyak kemiripan dengan tanah airnya disana. Mereka membangun saluran air bawah tanah yang sistematis, karena mereka sadar Jakarta memang rawan banjir sedari dulu. Malah kau telantarkan mereka, penuhinya dengan sampah Kotamu. Semoga tiruan Ciliwungmu tidak bernasib sama, semoga di zaman anak cucuku nanti mereka masih dapat melihat air yang mengalir di banjir kanalmu.

Iwan Fals-Ujung Aspal Pondok Gede

Tiba-tiba Kangen Jakarta

Jgj, 10-5-2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline