Saat diriku masih kanak-kanak, hal yang paling kutakuti bukanlah hantu maupun monster yang berada dibawah tempat tidurku melainkan sebuah sisir berwarna hijau nan tebal milik ibuku. Benda ini menjadi sebuah pembatas antara diriku dan kenakalanku kala aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Benda inilah yang membuat ku mematuhi semua larangannya dan taat pada peraturan yang ada dirumah.
Saat pertama kali aku berkontak dengan sisir legenda itu ketika aku pulang kerumah melewati batas waktu bermainku. Sesampainya aku dirumah ketika senja telah menampakan dirinya dihadapan semua orang, Ibuku telah menanti kepulangan anaknya tercinta namun dengan sebuah sisir hijau di tangan kanannya.
"Habis main dari mana mas?! kok deket maghrib baru pulang!", sontak aku terkaget dan mencoba menjawab namun karna kepolosan diriku tercetuslah.
"Habis dari warnet bu".
Sontak dengan perasaan marah karna khawatir terhadap anak semata-wayangnya terhayunkan lah sisir itu mengenai pundak kananku sembari menasehatiku untuk tak pulang larut lagi.
"Makanya lain kali jangan deket magrib baru pulang mas! belum lagi masih kucel gitu belum mandi, buruan gih sana mandi".
"Iya bu lain kali mas usahain ngga pulang deket maghrib lagi deh" ujarku sambil menahan pedasnya ciuman sisir itu.
Tertanamlah sebuah rasa takut terhadap sisir mulai saat itu. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk tak lagi mengulangi perbuatan yang dapat memancing ibuku mengeluarkan kembali senjata pamungkasnya padaku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H