[caption caption="Ilustrasi proses research and development"][/caption]
Indonesia, negara yang diramalkan bakal menjadi negara maju di Asia pada tahun 2030, saat ini sedang menggeliat dan berusaha meningkatkan daya saing riset dalam negerinya. Tentu hal ini bisa dimaklumi, mengingat negeri tetangga (Malaysia, Singapura, dan Thailand) yang pada tahun 1960-an mengirimkan staf dosennya ke negara kita, saat ini bahkan menjadi tujuan alternatif studi dan bekerja untuk sebagian WNI. Menurut saya, ini natural saja.
Tidak ada kaitannya antara "tidak nasionalis" dan bekerja di luar negeri, selama kita masih bisa memberikan kontribusi riil untuk memajukan pendidikan di Indonesia. Beberapa diaspora Indonesia yang menjadi dosen dan profesor di Jepang bahkan habis-habisan merekrut mahasiswa Indonesia sebagai muridnya, alih-alih merekrut mahasiswa Jepang.
Berbagai artikel yang menganalisa kelemahan universitas-universitas di Indonesia sudah banyak berkembang di media massa, salah satunya adalah artikel yang terbit di Jakarta Post yang berjudul "RI universities cannot compete internationally". Sebagian besar menyoroti lemahnya fasilitas yang diberikan kepada dosen dan peneliti. Artikel lain mencoba menganalisis rendahnya jumlah publikasi di Indonesia. Sementara itu, para dosen mengeluh besarnya beban mengajar yang harus ditanggung setiap semester. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian kita bersama, meskipun kita juga tidak boleh menafikan usaha Kemenristek Dikti untuk menyediakan dana riset melalui Insentif Riset SINas, usaha Departemen Keuangan melalui LPDP, dan juga dana penelitian yang disediakan oleh Dirjen Dikti melalui Simlitabmas.
Perlu kita ketahui, kualitas penelitian didukung tidak hanya oleh pelaku penelitian itu, tapi juga lingkungan dan regulasi yang terkait dengan penelitian tersebut. Artinya, apabila kita menginginkan kualitas penelitian di Indonesia maju, kita tidak bisa melakukan reformasi birokrasi secara sektoral. Salah satu kelemahan birokrasi Indonesia adalah tingginya ego sektoral, karena masing-masing ingin dilihat oleh pimpinannya sebagai lembaga yang berprestasi. Pernahkah penilaian dilakukan dalam konteks "sejauh mana efek kolaborasi antar lembaga memberikan hasil" ?
Oleh karena itu, dalam artikel ini saya akan mencoba menuangkan usulan-usulan kongkrit untuk memajukan penelitian di negara kita. Ada sepuluh buah usulan yang saya pikir cukup krusial untuk dipertimbangkan dalam program peningkatan kualitas penelitian di Indonesia.
1. Insentif publikasi dengan mempertimbangkan IF (impact factor) sesuai bidang ilmu.
Insentif publikasi sudah berjalan dengan baik. Menurut saya, insentif publikasi di Indonesia cukup tinggi dibandingkan dengan Filipina atau Thailand. Meskipun demikian, pemberian insentif publikasi tidak mempertimbangkan perbedaan yang cukup mendasar antar bidang ilmu. Sebagai contoh, LPDP memberikan insentif publikasi untuk paper yang terbit di jurnal internasional dengan memberikan dua pilihan saja: IF (impact factor) > 0.1 mendapatkan 50 juta dan IF > 5 mendapatkan 100 juta. Lihat artikel ini untuk lebih jelasnya.
Tentunya, kalau kita mau jujur, kontribusi keilmuan bidang studi yang berbeda tidak bisa diukur dengan membandingkan vis-a-vis IF jurnal bidang studi tersebut. Sangat tidak adil membandingkan kontribusi keilmuan bidang computer science dan kedokteran kalau hanya diukur dari IF-nya saja. Jurnal-jurnal computer science terbit setiap bulan. Dalam setahun, bisa jadi ada 12 edisi dalam satu volume. Satu paper belum sempat disitasi, bulan depan sudah terbit paper baru. Akibatnya, IF jurnal-jurnal computer science sangat sulit untuk mencapai IF lebih dari 5. Sementara jurnal kedokteran biasanya sekali atau dua kali dalam setahun. Umur sebuah paper beredar di kalangan peneliti cukup lama untuk membuka peluang adanya sitasi.
Gb.1. Kriteria insenfif publikasi LPDP (diakses dari web LPDP pada tanggal 12 Desember 2015 dari link ini)