Pernah membaca beberapa berita mengenai pasien yang datang ke rumah sakit untuk memeriksa kondisi kesehatannya dengan mendahulukan protokol kesehatan penanganan Covid19. Meningkatnya kasus Covid19 membuat pihak rumah sakit memperketat protokol wilayah kerjanya.
Pandemi akibat penyebaran Covid19 memang menimbulkan banyak kekhawatiran, bahkan kekhawatiran makin meningkat justru karena sikap abai sebagian masyarakat yang merasa tidak takut akan bahaya. Kekhawatiran lainnya adalah dampak lain dari pandemi yang berkepanjangan, yaitu ekonomi akan ambruk. Dilema ini memunculkan keputusan Adaptasi Kebiasaan Baru. Namun sayangnya kondisi ini banyak dianggap sebagian besar masyarakat sebagai kondisi yang normal.
Kondisi ini mengharuskan pihak institusi pelayanan kesehatan seperti rumah sakit memperketat protokol kesehatan di wilayah kerjanya. Tentu dengan maksud melindungi tenaga medis sebagai garda terdepan melawan virus korona, juga melindungi pasien lain dari paparan mahluk tak kasat mata ini.
Di sisi lain, aturan protektif yang dikeluarkan seperti keharusan rapid tes maupun swab tes bagi pasien yang akan meminta pelayanan dan perawatan di RS, memunculkan dilema tersendiri. Satu sisi harus melewati prosedur rapid tes terlebih dahulu sebelum dilakukan tindakan, di sisi lain kondisi pasien yang memerlukan penanganan segera.
I Gusti Ayu Aryanti (23) hanya salah satu contoh pasien yang kurang beruntung. Karena terbentur aturan protokol covid19 menyebabkan bayinya lahir tidak terselamatkan dan janin dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan. Beruntung nyawa Ariani tidak ikut melayang bersama sang buah hati setelah melalui proses pendarahan saat dipingpong kesana kemari dan menunggu hasil rapid test.
Banyak rumah sakit, atau mungkin semua rumah sakit mendahulukan dan mewajibkan rapid tes bahkan swab tes untuk setiap pasien yang akan melakukan perawatan. Yang menjadi persoalan, apa yang harus didahulukan antara keselamatan pasien atau rapid tes? Karena dari beberapa berita yang beredar, ada pasien yang harus terkatung-katung di RS tanpa tindakan atau penanganan sebelum hasil rapid keluar.
Baru-baru ini ada berita yang dimuat tribunjateng.com mengenai pasien bernama I Gusti Ayu Arianti (23 tahun) yang mengalami masalah kandungannya dan kemungkinan akan melahirkan. Karena protokol pihak instansi pelayanan kesehatan, baik rumah sakit maupun puskesmas mengharuskan rapid tes terlebih dahulu, ia kesulitan untuk mendapatkan penanganan pertama atas keluhan kehamilannya sampai akhirnya saat bayinya lahir dinyatakan telah meninggal dalam kandungan (18/8/2020).
Kronologinya, wanita asal Kota Mataram itu mengalami pecah ketuban dan pendarahan. Oleh keluarganya dibawa ke RSAD Wira Bhakti Mataram dan memohon untuk segera ditangani tim medis namun ditolak dan memintanya untuk dilakukan rapid tes terlebih dahulu. Berhubung di RS tersebut tidak ada fasilitas rapid tes, disarankan ke RS lain atau puskesmas. Bahkan untuk sekedar cek kira-kira sudah bukaan berapa menuju proses kelahiran saja, petugas di RS itu tidak mau.
Saat itu petugas yang berjaga mengenakan pakaian APD lengkap. Padahal mungkin seharusnya bisa untuk sekedar memeriksa apakah kandungannya dalam kondisi bahaya atau tidak. Setidaknya bisa juga untuk memeriksa berapa lama lagi akan melahirkan.
Begitu juga saat dibawa ke puskesmas untuk rapid tes. Arianti memohon ke dokter di ruang bersalin untuk dicek kandungannya karena kesakitan dan juga pendarahan, tetapi lagi-lagi petugas menolaknya dan menyarankan menunggu rapid tes terlebih dahulu.
Sampai akhirnya Arianti dibawa ke RS Permata Hati berbekal surat rapid tes dari puskesmas namun tidak diakui hasilnya karena dianggap tidak ada stik rapid tesnya dan mengharuskan rapid tes lagi di RS Permata Hati. Singkat cerita, akhirnya persalinan dilakukan dengan operasi caesar. Namun saat bayi lahir telah meninggal dunia. Menurut keterangan dokter, bayi telah meninggal 7 hari lalu dalam kandungan. Namun alasan ini diragukan karena seharusnya sudah mengalami pembusukan, tetapi yang terlihat masih segar.