Lihat ke Halaman Asli

Bambang Wibiono

Buruh Sarjana | Penulis Bebas | Pemerhati Sosial Politik

Mengurai Jejaring Korupsi di Indonesia (2)

Diperbarui: 24 Juni 2020   21:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh: Bambang Wibiono

_

Kebiasaan Vs Keharusan dalam Birokrasi

Satu hal lain mengapa korupsi di Indonesia sangat sulit diberantas, tidak lain karena praktik koruptif ini dilakukan secara terstruktur dalam birokrasi. Korupsi dilakukan berjenjang dari mulai atas sampai bawah. Sehingga kesulitan untuk mengungkap keseluruhan tindakan korupsi. Tidak jarang hanya "petugas" level bawah saja yang bisa tersentuh hukum. Atau mereka memang sengaja ditumbalkan untuk menutupi pelaku di atasnya.

Dalam birokrasi pelayanan publik kita cenderung mengedepankan "kebiasaan" ketimbang "keharusan" sesuai aturan. Ambil contoh saja mengenai pengurusan perijinan atau administrasi kependudukan. Tidak jarang waktu yang diperlukan jauh lebih lama dari yang seharusnya. Ketika ditanya alasannya, akan dijawab, "biasanya begitu". Padahal jelas tertera bahwa standar pelayanan maksimal sekian hari kerja.

Belum lagi mengenai kebiasaan-kebiasaan "uang administrasi" atau uang pelicin untuk petugas-petugas administrasi pelayanan. Tanpa membayar "uang administrasi," sering kali permohonan kita tidak dilayani. Atau setidaknya, waktu pelayanan jauh lebih lama daripada yang membayar "administrasi".

Karena sadar para oknum pejabat birokrasi ini mengenai bahaya bocornya informasi atau bukti yang akan mengarah langsung pada mereka, maka secara terstruktur, kegiatan pemerasan atau pungli yang dilakukan kepada masyarakat yang memerlukan pelayanannya dilakukan melalui pegawai bawahan. Di hadapan, biasanya oknum pejabat ini bertindak sok jual mahal. Lewat bawahannya inilah, dia akan meminta penawaran dan membuka ruang negosiasi untuk harga sebuah layanan.

Praktik seperti ini bukan hal yang rahasia lagi. Sudah banyak diketahui umum. Hanya saja terkadang masyarakat merasa butuh, sehingga dengan terpaksa dan selanjutnya menjadi sebuah kewajaran untuk membayar sejumlah biaya atas layanan tersebut. Selain itu, masyarakat cenderung takut jika harus berhadapan dengan oknum dalam tubuh birokrasi ini, yang notabene adalah pejabat.

Permasalahan berikutnya mengenai mengapa masyarakat cenderung diam melihat praktik korupsi ini, karena sadar bahwa ini tindakan terstruktur. Jadi, saat dilaporkan dan terjadi penyidikan bahkan jatuh vonis, ini tidak lantas memuluskan pelayanan publik di instansi tersebut. Nyatanya, para kroni sang oknum pejabat korup masih ada di dalam lembaga itu. Ini bisa berakibat urusannya pada lembaga ini tidak dilayani dengan baik.

Jika pemohon layanan ini adalah kalangan bisnis atau berkaitan dengan kepentingan usaha, tentu saja ini akan berakibat terhambatnya bisnis mereka. Perijinan akan makin sulit, waktu bertambah tidak tentu, dan bisa saja dikemudian hari diada-adakan masalah untuk mengorek-ngorek bisnisnya.

Ada sebuah pendapat, bahwa untuk membersihkan korupsi di tubuh birokrasi, setidaknya 50% orang yang ada di institusi tersebut harus diganti. Pendapat ini sangat beralasan seperti diungkapkan di atas. Korupsi di tubuh birokrasi dilakukan secara terstruktur, dari pejabat atas hingga bawah. Terlalu banyak orang yang terlibat di dalamnya, yang mungkin selama ini juga telah ikut menikmati hasil korupsi. Hasil korupsi, pungli, dan suap menyuap dinikmati bersama. Makanya, kebiasaan lebih didahulukan daripada keharusan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline