Oleh: Bambang W
_
Era semakin modern. Perkembangan pengetahuan semakin pesat. Banyak penemuan baru abad ini, termasuk di antaranya penemuan kata BAPER (dibawa perasaan).
Entah kapan pastinya penemuan penting ini. Yang jelas, pada abad milenial, saat perkembangan pesat dunia komunikasi terjadi. Para penemunya pun generasi muda. Disebutnya generasi milenial. Tetapi entah siapa.
Layaknya perkembangan jaman, perkembangan pengetahuan juga sudah barang tentu menuju kemajuan dan modernisasi. Tetapi tidak tahu untuk penemuan kali ini. Apakah membawa pada kemajuan atau justru sebaliknya?
Mari kita merenung sejenak. Manusia diciptakan sebagai mahluk sempurna karena diberi akal dan perasaan. Ini yang membedakan manusia dengan mahluk lain seperti binatang dan tumbuhan, misalnya. Maka logikanya, perkembangan kemajuan kehidupan manusia adalah yang berhubungan dengan perkembangan kemajuan dua instrumen ini: akal dan rasa. Tentang sejauh mana modernisasi ini sebagai indikator perkembangan akal dan rasa. Dari sini pula lahir berbagai ilmu pengetahuan, mulai dari ilmu eksakta maupun ilmu sosial. Misalnya saja, filsafat lahir dari hasil perenungan rasa yang berkolaborasi dengan akal. Turunannya bisa berbentuk etika, norma, hukum, maupun ilmu alam/eksakta.
Lantas hubungannya dengan penemuan kata baper? Begini, sejak penemuan kata baper, instrumen keunggulan manusia berupa rasa, menjadi dipertanyakan. Alih-alih mengalami kemajuan soal rasa, malah terkesan harus menanggalkan rasa dalam berinteraksi. Batasannya makin tidak jelas.
Saat ada pembicaraan yang sedikit menyinggung perasaan lawan bicara, maka akan muncul kata baper.
"Ga usah baper, gitu doang baper",
"yaelah kamu baperan orangnya, ga asik".
Saat ada peristiwa tertentu yang membuat kita sedih, teman kita bisa saja berkomentar, "kamu baper banget, saya dulu pernah ngalami lebih parah, tapi biasa aja".
Takaran akal dan rasa tiap orang itu bisa sangat berbeda. Maka daya tangkap terhadap sesuatu pun juga jelas berbeda. Ada orang yang mudah paham dalam menyimak suatu penjelasan, tapi ada juga yang harus diulang-ulang penjelasannya baru paham. Bahkan ada juga yang tidak pernah bisa memahaminya. Begitu juga dengan rasa. Laki-laki dengan perempuan saja berbeda dalam hal penggunaan rasa. Laki-laki cenderung dominan menggunakan logika ketimbang perasaan. Sebaliknya, perempuan dominan menggunakan perasaan. Makanya tidak heran kalau perempuan mudah tersentuh hatinya dan mudah nangis. Begitupun sesama laki-laki dan sesama perempuan yang juga berbeda kadarnya. Saat kita nonton film drama yang sedih, ada di antara kita yang nagis berurai air mata, ada yang hanya tersedu, ada yang sama sekali tidak menangis. Terus kita bilang, "ah kamu baper".
Ada lagi kasus, misalnya ada di antara kita saat ini mengalami kesulitan karena PHK akibat dari wabah Covid19. Keluarganya diambang kelaparan. Kemudian perasaannya menjadi sensitif. Melihat tetangganya heboh masak-masak menyambut hari pertama puasa, dia mendadak melankolis, sedih. Bahkan ada juga yang berubah jadi sinis memandang tetangganya. Dianggap pamer, dianggap tidak berempati. Kemudian sebagian dari kita menganggap itu baper? Takaran baper dan tidaknya apa dong? Sejauh mana itu bisa dibilang baper atau tidak baper?
Dengan kata baper ini, orang dapat dengan mudah bersembunyi dari ketidakmanusiawiannya. Kita bisa bersembunyi di balik kata baper untuk kurangnya rasa empati kita. Bersembunyi di balik kata baper demi menutupi keengganan kita menolong orang lain. Berlindung di balik kata baper untuk penghinaan kita terhadapnya. Dan berlindung dengan kata baper untuk ketiadaan niat kita meminta maaf atas kesalahan dan keegoisan kita.
Tidak ada lagi kata tolong, tidak ada lagi kata maaf. Apa yang terjadi? Semenjak penemuan kata baper, seolah kita dipaksa menanggalkan kemanusiaan kita: menanggalkan rasa! Seolah kita dipaksa kembali menjadi mahluk primitif. Bahkan dipaksa menjadi pada derajat hewan yang tidak memiliki perasaan. Beberapa hewanpun ada yang dibekali perasaan walau secuil.
Lantas apa makna kemajuan jaman bagi umat manusia ini saat kita dipaksa menanggalkan kemanusiaan kita kalau begitu? Apa makna modernisasi? Inikah peradaban manusia modern? Ataukah ini kemunduran? Silahkan renungkan dan tafsirkan sendiri.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H