Beberapa ibu-ibu yang kompak jalan-jalan itu berarti sesuatu, sesuatu yang positif tentunya. Mereka bisa membicarakan apa saja, kecuali politik yang membuat puyeng pol-polan yang asyik lagi mereka belum kompak dalam menghindari banjir.
"Ah, tadi itu masih enak saya di atas. Main ajak pulang aja!" seorang ibu yang pertama protes, tidak suka diajak balik. Ibu nomor satu ini terlihat benar-benar tak bisa menerima ajakan temannya.
"Lha, kamu mau kebanjiran?" sanggah emak kedua, yang mengajak pulang, tak kalah galak.
Matahari masih cukup terang sore itu meskipun hujan masih cukup rintik. Masalah yang dihadapi mereka adalah sms yang dikirim dari keminfo mengenai kewaspadaan terhadap banjir. Dan itu sepertinya wajar, karena hujan ketika itu sudah hampir sepanjang waktu.
Perjalanan waktu itu dari satu mal di Jakarta Selatan, menuju arah Tangerang mengantarkan mereka, lima ibu-ibu merdeka pulang. Ya, merdeka dari anak, merdeka dari suami, merdeka dari urusan rumah tangga. Tetapi tidak merdeka dari bahaya banjir,.
"Kan malnya enggak kebanjiran. Mana mungkin mal kebanjiran?" si ibu satu masih protes.
"Lha, kebanjiran ya enggak mungkin. Tapi kamu mau gak bisa pulang karena jalanan penuh banjir?" jawab si ibu kedua tak bisa disanggah lagi.
"Kamu enggak pernah merasakan jalan dari sini sampai ke rumah. Bayangkan! Mana sama mak tua lagi!" kata yang diprotes menambah amunisinya.
"Lha, kamu sama mak tua? Dari sini sampai rumah?" kata pemrotes sudah kalah.
Entah si ibu ke mana waktu Jakarta banjir. Dia tidak mempunyai memori yang membuatnya dendam pada banjir.
Sementara ibu-ibu yang lain sepakat, kalau sedang ada banjir mending di rumah.