Lihat ke Halaman Asli

Kronik Padang Rumput

Diperbarui: 6 Agustus 2018   19:10

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pendekar itu terus mengejar. Cemetinya terus menyambar ke segala penjuru hutan, membuat suara halilintar bergema di mana-mana.

"Ayo, Bidadari. Kita lanjutkan pertarungan kita. Kau harus merasakan jurus terakhirku. Jurus cinta. Hahaha.'

'Kau tahu kau tak bisa bersembunyi. Suara halilintar cemetiku yang akan menemukanmu. Hahaha!"

Sementara gadis itu terus berlari, dengan sisa-sisa tenaganya. Napasnya memburu tersengal-sengal.

"Kau tahu di sini tak ada tempat yang cukup untuk menyembunyikan tubuhmu yang jelita, Bidadariku!"

Suara itu makin dekat, ketika gadis itu menyusup ke padang rumput. Ia terobos rumput yang setinggi lutut. Hingga semakin lama tubuhya semakin tenggelam di rumput itu.

"Lihat bulan purnama, Bidadariku. Ayolah, biarkan aku mengecup tahi lalat di pinggangmu. Umur belum cukup bagiku untuk mengerti arti membunuhmu di sumur itu. Bahkan Kakang Ajimu pun kubiarkan pergi. Tapi aku tak menyesal, demi melihat molekmu kini. Biar bulan purnama yang sama yang membalas kebaikanku waktu itu. Ayolah bidadari bertahi lalat. Hahahaha!" tawa Cemeti Halilintar panjang.

Gadis itu semakin takut. Ternyata malam purnama dulu kembali lagi, terang yang sama, ketakutan yang sama. Bulan yang sama menjadi saksi pembunuhan ketika itu dan kini. 

"Hahaha!"

Tawa itu masih didengarnya panjang, lantang dan makin dekat. Takut, kalah, lemah menjadi satu berkumpul di tubuh dan hatinya, persis seperti di sumur perguruan ketika itu. Hingga rasa itu menjadi kejut ketika tawa itu tercekat, tiba-tiba hilang, entah lenyap.

"Mengapa, bagaimana?" ia tak tahu dan hanya bisa heran. Ia terbiasa membunuh, menghilangkan, melenyapkan nyawa dari tubuh lawan. Mereka mengerang, sakit, mengejang, dan lemas menghembus napas. Bagaimana dengan kematian Cemeti Halilintar? Begitu tiba-tiba, tawa itu hilang seakan suara itu terpenggal tak sempat mengerang atau menghembuskan napas terakhirnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline