Lihat ke Halaman Asli

Cermin

Diperbarui: 6 Oktober 2016   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ini teori saya. Pendapat pribadi yang berasal dari pengamatan sekitar. Tentang orang-orang yang pernah dekat dengan saya sebagai rekan kerja, teman, sahabat, kekasih dan apapun bentuk hubungan yang melibatkan emosi. Jadi ternyata saya selalu (seringnya, mungkin?) berinteraksi dengan cermin. Orang-orang yang sikap dan sifatnya mirip saya, pernah mirip saya, atau justru plek ketiplek tiplek saya banget. 

Cuma yang namanya sifat dan sikap itu kan terus tumbuh berkembang dan berubah seiring berjalannya waktu. Akan menjadi asyik ketika saya bertemu si cermin ini sesuai dengan kondisi saya sekarang. Jadinya klik. Nyambung. Cocok. Dan ini jarang. Seringnya adalah saya bertemu dengan cermin saya dimasa lalu, atau yang jaaaauuuuhhhh dimasa lalu. Ketika saya sudah berubah, ternyata saya harus berinteraksi dengan manusia-manusia yang sikapnya mirip saya jaman dahulu kala . Nah ini seringnya amsyong. Intinya, saya berubah positif, dong. Hehehe…

Saya pernah bertemu dengan cermin yang segala tindak-tanduknya mirip dengan saya. Yang doyan banget ngomong, apa saja dibahas dari soal kejadian nginjek tai di jembatan penyeberangan, gosip artis, pekerjaan di kantor, hingga obrolan berat kontemplasi mendalam soal kehidupan. Yang kalo pas ga berada di satu tempat bisa telepon berjam-jam, quota Talk Mania yang ratusan menit sehari pun kurang. Atau yang ditengah-tengah meeting nyempetin nelpon cuma ngasih tau ”eh, barusan nama kamu disebut di rapat. Gilak, udah bertahun-tahun pindah masih aja ya disebut-sebut karyanya disini. Yaudah, cuma mau ngasih tau itu aja.” Itu sahabat-sahabat saya. Kehilangan cermin seperti ini berasa sekali pedihnya. Kebanyakan orang suka ngobrol, tapi yang tahan berjam-jam dengan topik random yang bermanuver tajam tidak banyak. Itulah cermin saya.

Saya juga pernah bertemu dengan orang paling ngeselin sedunia. Tertutup rapat, ga pernah jawab kalo sudah bahas yang privasi, dan pertanyaan serius jawabnya dibecandain. Sok misterius. Nyebelin parah. Dan ternyata itu adalah cermin saya juga. Potongan sikap defensif terhadap orang baru dikenal. Maunya sih ati-ati, tapi jatohnya jadi semacam bangun pertahanan. Dan itu bikin capek ati lawan bicaranya loh by the way. Saya baru sadar kalo saya ternyata separah itu setelah bertemu si cermin. Lebih ngeselin lagi adalah ketika sikap defensif tersebut justru saya temui saat saya sudah buka lebar-lebar dinding pertahanan.

Saya pernah bertemu si tukang batalin janji di injury time. Iya, itu sumpah minta banget disiram air panas. Cermin saya juga ternyata.

Bertemu manusia norak bin kampungan. Orang-orang Perkempol (Perkumpulan kementhus pol à sok tau parah). Kaum super pelit cap jahe. Si mulut karet dua yang kalo nyela pedesnya minta ampun padahal becanda. Si slebor yang lucu. Si manis yang baik hati tapi congkak. Ternyata cermin-cermin saya tidak selalu menampilkan bayangan yang indah.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline