Lihat ke Halaman Asli

Anwar

Seorang yang tidak akan pernah menyerah untuk terus menulis

Rumah Asri yang Kuhuni

Diperbarui: 23 Oktober 2018   23:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mata ini belum juga mau terpejam ketika jam di dinding kamarku menunjukan pukul 02.25 wib. Entah apa yang membuatku sulit untuk meraih mimpi-mimpiku malam ini. Tubuhku telah sangat lelah miring ke kiri, ke kanan, telentang namun masih juga tak mau pulas. Insomniakah aku...?

Tapi seingatku, aku tidak pernah punya penyakit macam itu. Tapi entah kali ini, aku benar-benar tidak dapat tidur seperti malam-malam lain sebelumnya. Telah berkali-kali aku panjatkan doa agar aku dapat tidur nyenyak, namun tetap saja tak bisa.

Aku bangkit dari tempat tidurku, dan terus berjalan menuju padang rumput hijau laksana karpet yang dihamparkan dihadapanku. Sangat menyejukkan mata memandangnya.

Aku terpana, terheran-heran serta batinku bertanya-tanya ; dimanakah aku ini...? Bagiku tempat ini terasa asing. Entah dimana kini aku berada. Udaranya sejuk lebih kepada lembab tapi sangat menyenangkan berada disini.  Suatu tempat yang tak pernah kubayangkan sebelmnya.

Aku memandang ke sekeliling tempat, hanya hamparan rumput hijau. Tapi tunggu...... diujung sana, kulihat sesosok tubuh duduk bersandar disebatang pohon rindang, seperti pohon beringin. Sepertinya tadi aku tidak melihat ada pohon, apalagi manusia lain selain aku. Aku semakin bingung.

Lalu rasa penasaran ini tak bisa terbendung lagi. Kuhampiri orang yang sedang asyik bersandar di pohon mirip beringin itu. Ternyata seorang perempuan memakai gaun terusan warna putih. Ia nampak berwajah pucat tetapi tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. 

Kuperhatikan dengan lebih dekat ke wajah yang tanpa ekspresi itu. Tampak wajah cantik dengan penuh duka didalamnya. Derita yang lama terpendam dalam sorot mata yang nampak hampa. Ia diam saja ketika berusaha untuk lebih mendekat. Aku belum berani mengeluarkan sepatah katapun meski tubuhku telah berada cukup dekat dengannya.

Wajah yang senantiasa tertunduk itu perlahan menengadah dan menatap ke arahku. Berdesir dada ini menatap sorot mata yang sangat tajam dari kedua bola matanya. Ada perasaan tak enak dalam hatiku. "Apa yang terjadi dalam kehidupan gadis ini, hingga ia memendam duka yang teramat dalam ? Berkecamuk batinku..."

Bagaimana mungkin aku bisa membayangkan penderitaan hati yang ia tanggung sendiri tanpa ia ungkpkan pada orang lain. Tetapi pelan-pelan ia mulai membuka mulutnya. Perlahan tapi pasti dengan suara yang sangat lirih, ia mulai menceritakan kisah hidupnya.

Dimulai dari pertama ia membina hubungan dengan seorang laki-laki yang sangat ia cintai. Ia begitu percaya pada laki-laki itu, pada janji-janji manisnya. Saat itu ia terbuai. Bayangan hidup bahagia mengarungi bahtera rumah tangga bersama dengan laki-laki yang sangat ia sayangi hingga pada akhirnya ia rela berkorban segalanya.

Janji tinggal janji. Setelah apa yang ia berikan seluruhnya kepadanya, lalu laki-laki itu pergi dan tak pernah kembali lagi. Ia mengatakan disini, ditempat ini terakhir kali ia merenggut kehormatannya. Lalu laki-laki itu mencampakkan dan pergi berlalu begitu saja. Ia merasa benar-benar tercampakakn dan terhina serta putus asa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline