Lihat ke Halaman Asli

Guru, Bukalah Telingamu, Sebelum Membuka Mulutmu

Diperbarui: 25 November 2015   12:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber gambar: www.mtsnbobotsari.sch.id"][/caption]“Kelas kecil?” tanyaku memastikan pembagian tugas mengajar kelas Sekolah Minggu kepada seorang rekan yang menjadi koordinator guru. “Rasanya saya tidak cocok deh,” tolak saya halus.

Sekolah Minggu adalah kelas pengajaran Agama Kristen untuk  anak-anak yang biasanya berlangsung di hari Minggu di gereja.  Tugas guru Sekolah Minggu mirip dengan guru-guru agama di sekolah.

“Rekan seangkatanmu  khan dari Malaysia, bahasa Indonesianya masih sulit dimengerti anak-anak kecil,” kata koordinator kami. Sebuah pertimbangan yang  masuk akal bagi saya, walau tetap saja tak mengurangi rasa kurang cocok mengajar di kelas kecil.  “Biar dia mengajar di kelas besar, saya di kelas sedang dan kamu di kelas kecil,” pungkas koordinator kami.

Ya ampun! Ini berarti sepanjang semester ini saya akan mengajar di kelas kecil pos sekolah Minggu itu. Harus. Tidak ada pilihan lain. Semua mahasiswa tingkat satu dan dua harus mengajar Sekolah Minggu. Kelas kecil berarti anak-anak usia taman kanak-kanak hingga kurang lebih kelas 2 Sekolah Dasar.  Di pos Sekolah Minggu itu memang hanya ada sekitar 25-30 anak. Walaupun namanya kelas Sekolah Minggu, namun kegiatannya berlangsung setiap Kamis sore.

Kelas persiapan mengajar kelas kecil dilaksanakan bersama di hari Sabtu. Saya duduk dan menatap sekeliling. “Hm… rasanya saya bakal jadi guru kelas kecil terganteng di semester ini,” batin saya setelah menatap sekeliling. Ya, saya satu-satunya pria di antara hampir 15 orang guru yang mengajar kelas kecil.  Rata-rata rekan guru lain memandang saya seolah-olah saya salah masuk ruangan.

“Kamu benar mau mengajar di kelas kecil?” dengan penuh tanda tanya seorang rekan bertanya.

Saya mengangguk lesu. “ Apa boleh buat. Tidak ada pilihan lain!”

Kelas persiapan itu tak berlangsung lama. Tidak banyak hal yang menarik untuk diingat. Tidak ada diskusi teologi menantang,  yang menjadi kegemaran saya.  Yang ada adalah percakapan bagaimana membuat alat peraga dan aktivitas murid. Saya merasa memang telah berada di tempat yang salah.

***

Bisakah Anda membayangkan apa yang terjadi di hari Kamis pertama saya mengajar kelas kecil itu?  Untuk beberapa detik anak-anak itu takjub  memandang kepada guru barunya. Setelah itu?  Mulailah mereka berlarian kesana-kemari.  Bagaimana saya bisa mengajar kalau mereka tidak bisa duduk diam? Bagaimana mereka bisa duduk diam bersama kalau saya berhasil menangkap dan mendudukkan satu anak, sementara anak yang lain berlarian? Setelah beberapa kali gagal berupaya membuat kurang lebih sepuluh anak berusia 4 sampai dengan 6 tahun itu duduk dan diam, saya hanya berdiri di pojok. “Minggu depan, saya akan minta tukar ke kelas lain atau pos pelayanan yang lain,” batin saya di tengah keriuhan anak-anak.

Saking gaduhnya anak-anak itu, seorang rekan yang mengajar di kelas sebelah sampai perlu menengok kelas. “Bagaimana? Anak-anak kelasmu kok sudah aktivitas sih. Cepat sekali mengajarnya?” tanyanya.  Saya hanya mengangkat bahu sambil tersenyum pahit.  Bagaimana mulai mengajar kalau anak-anak ini tidak bisa duduk dan diam?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline