Setelah Dido kucingku mati (lihat pada cerita sebelumnya https://www.kompasiana.com/wennyirawahyuni/618d59218c48255b3d1b9342/dido-tetap-dihati-mommy ), hampir setengah tahun aku tidak memelihara kucing. Aku telah mengikhlaskan kematian Dido, tetapi aku berangan-angan ingin memiliki kucing dengan warna bulu yang sama seperti Dido. Tentu saja pada kenyataannya angan-anganku sulit diwujudkan. Ada beberapa kucing dengan warna bulu yang hampir mendekati warna bulu Dido, namun hatiku mengatakan tidak untuk mengadopsinya.
Sampai pada suatu hari ketika aku tak lagi ingin memikirkan kucing untuk dipelihara, selain karena belum menemukan yang tepat, juga karena aku takut kehilangan lagi, datang lah temanku menawarkan seekor anak kucing jantan berbulu coklat keemasan agak oranye yang ditemukannya di jalan. Usianya diperkirakan sekitar tiga bulan. Ia mengatakan kepadaku bahwa jika kucing tersebut tidak menemukan orang untuk mengadopsinya dalam beberapa hari, maka ayahnya akan membuangnya. Ia tak mau hal itu terjadi, maka ia menawarkan kepadaku untuk mengadopsi kucing tersebut.
Aku bersedia menerima tawarannya. Apalagi ketika kulihat kucing itu masih kecil, lucu dan tampan saat pertama kali aku diajak oleh temanku untuk melihatnya. Aku pun membawanya ke rumahku. Aku beri nama ia Iching.
Tiga hari kuadopsi, Iching mengalami diare berdarah karena aku salah memberinya makan. Saat itu aku hanya mengenal satu merek makanan kering untuk kucing. Ternyata merek makanan kering yang banyak diiklankan di televisi itu tidak bagus bagi kucing, terutama yang pencernaannya sensitif. Aku pun membawa Iching berobat ke dokter hewan, ditemani oleh temanku yang menawarkan Iching kepadaku itu.
Setelah disuntik, Iching tertidur pulas dalam gendongan temanku. Namun di tengah perjalanan ia sempat mencret dan mengotori baju temanku. Sampai rumahku ia membersihkan pakaiannya dan aku membeli ikan untuk aku rebus, sebab dokter menyarankan untuk memberi makan Iching ikan rebus saja.
Iching lahap memakan ikan yang aku rebuskan untuknya pertama kali. Sejak saat itu aku bertekad hanya memberikannya makanan basah saja. Tetapi setelah dua bulan lamanya bersamaku, Iching mengalami demam dan diare. Pernah dalam sebulan ia sakit demam dan diare sebanyak tiga kali, selama itu pula aku bolak-balik ke dokter mengobatinya. Aku cemas kehilangan lagi seperti kehilangan Dido.
Badan Iching pun sudah kurus dan bulunya kusam. Ia tak lincah. Aku menyerah di bulan ke tiga mengadopsinya. Namun pada suatu hari ketika aku hendak berangkat kerja, aku berpamitan kepada Iching lewat jendela rumah yang akan kututup. Iching pun merespon pamitanku dengan matanya yang jenaka, dan ia mendekat ke jendela rumah berusaha berdiri serta memain-mainkan tangannya bersamaku. Melihat momen ini, aku seperti memiliki harapan bahwa Iching bakal lama hidup bersamaku.
Rutinitas berpamitan dengan Iching di jendela setiap hendak berangkat kerja menjadi kebiasaanku. Setiap aku pulang kerja pun ia menungguku di balik pintu dan menyambutku dengan tingkah dan tatapan matanya yang jenaka. Aku pun jatuh cinta pada Iching. Kali ini aku tak membahasakan diriku sebagai mommy kepadanya. Aku tak mau menganggapnya seperti anakku karena trauma dengan kehilangan Dido. Aku menganggap Iching seperti temanku.
Bulan ke-empat, Iching yang masih terus sakit-sakitan membuatku lelah. Seorang dokter menyarankan padaku untuk mengganti makanannya ke merek makanan yang lebih berkualitas. Aku mengikuti saran dokter tersebut. Tetapi Iching menolaknya. Ia berusaha mencari ikan rebus yang biasa kuberi untuknya. Aku kesal. Aku singkirkan semua obat-obatannya dan ikan rebus yang sempat kuberikan untuk kucampur bersama makanan barunya. Kukatakan pada Iching bahwa jika ia tak menurut padaku, maka lebih baik ia kubuang dan hidup di luar, aku sudah sangat lelah mengupayakan ia sembuh. Iching menatap mataku. Aku tak peduli. Aku mengusir Iching dengan meletakkannya di luar pintu rumah, padahal hujan sedang turun.
Aku marah dan kesal. Selama satu jam aku tak membukakan pintu untuk Iching. Kudengar lamat-lamat ia mengeong. Aku membukakan pintu untuknya karena tak tega. Ia pun masuk dan segera menuju piring makannya untuk minta makan. Aku memberinya makanan dengan merek baru. Ajaibnya ia langsung memakan makanan itu. Ia makan sambil sesekali menatapku, seolah bilang bahwa ia minta maaf dan mau menurut padaku.
Sejak saat itu Iching jarang sakit. Ia tumbuh subur dan menggemaskan. Tetapi kaki kanannya agak sedikit lumpuh dan susah untuk dibawa berjalan cepat atau berlari. Barangkali karena serangan demam dan diare yang terlalu sering ia alami dahulu.