Kekerasan terhadap perempuan dan anak itu seperti mata rantai yang saling terjalin berkelindan, sebab akan menimbulkan kekerasan berikutnya, kekerasan bentuk lain, dan kekerasan di masyarakat apakah terulang di ruang domestik lagi atau di ruang publik. Begitulah intisari yang saya dapat selama pendidikan keadilan gender yang diselenggarakan oleh salah satu LSM pegiat kekerasan terhadap perempuan dan anak di Yogyakarta pada tahun 2006 lalu. Dari sinilah awalnya saya mengenal pentingnya isu keadilan gender dan kekerasan terhadap perempuan dan anak harus diakhiri untuk mewujudkan masyarakat yang damai dan sejahtera serta adil.
Fenomena kekerasan terhadap perempuan dan anak seperti gunung es, begitulah data dan fakta dari berbagai penelitian dan instansi menggambarkannya. Jika di cermati lewat berita yang tersaji di media lokal maupun nasional, cetak, elektronik maupun daring, dalam satu hari saja betapa banyaknya berita kekerasan terhadap perempuan dan anak yang tersaji dengan berbagai bentuk banalitas atas tubuh, cara pandang, dan eksistensi perempuan yang makin menjijikkan dan memuakkan jika diteruskan untuk dibaca, ditonton. Peradaban semakin mutakhir, tekhnologi semakin pintar mendekati kehidupan manusia, namun posisi perempuan dan anak kian terdegradasi dalam kehidupan kemanusiaan di ruang domestik maupun publik. Ini baru berbicara kekerasan jenis fisik, belum berbicara kekerasan jenis non fisik yang tidak dianggap secara sadar maupun nyata bahwa hal tersebut merupakan kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Apresiasi terhadap program Three Ends KPPA sebagai upaya untuk menanggulangi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terdiri dari : Akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, akhiri kesenjangan ekonomi. Sebab sejatinya program tersebut menjadi pedoman tindak nyata untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak secara estafet, intensif dan mendasar di ruang kehidupan domestik dan publik. Ini menjadi rangkaian bagaimana konvensi perlindungan terhadap perempuan dan anak diwujudkan secara sungguh-sungguh oleh negara. Mengingat pada tahun 1983 Indonesia telah menandatangani konvensi CEDAW (konvensi penghapusan kekerasan terhadap perempuan), dan kemudian setelahnya juga menyetujui atas Konvensi Hak-Hak Anak pada tahun 1989, dimana kedua konvensi ini juga telah diratifikasi kedalam bentuk UU No. 7 Tahun 1984 dan Keppres No. 36 Tahun 1996. Dua konvensi tersebut menjadi dasar perlindungan secara khusus terhadap perempuan dan anak, dan negara memiliki kewajiban untuk melakukan upaya nyata atas hak hidup perempuan dan anak jika mengalami gangguan dan ketidakseimbangan diruang bermasyarakat dan bernegara.
Namun tidak mudah bagi negara untuk menyeimbangkan peran keadilan bagi perlindungan perempuan dan anak. Budaya, tafsir, adat istiadat di Indonesia dan negara sendiripun secara ideologi kadang justru menyudutkan posisi dan peran perempuan dan anak diruang domestik maupun publik. Akibatnya, kekerasan terhadap perempuan dan anak semakin masif dan ekstensif. Di satu sisi, perempuan dan anak atas nama pertumbuhan kapitalisme negara semakin tidak memiliki kekuatan keberdayaan diruang domestik maupun publik. Perempuan dan anak hanya dianggap sebagai objek pasar yang terkapitalisasi dalam sistem birokrasi pemasaran produk barang dan jasa, lalu kemudian dilupakan aspek kemanusiaannya. Celakanya ideologi pasar yang telah terkapitalisasi tersebut merekonstruksi ulang bentuk-bentuk kelemahan dan ketidakberdayaan perempuan terutama diruang domestik lewat iklan dan gaya hidup sosialita, pejabat, selebriti .Ketidakberdayaan perempuan dan anak pun menghadapi kapitalisasi intensif segi kehidupan bernegara diruang domestik maupun publik inilah yang akhirnya mendegradasi nilai kemanusiaan perempuan dan anak, kekerasan pun mewujud terhadapnya, membentuk lingkaran dan jalinan kekerasan tak berkesudahan.
Perempuan dan anak yang terdegradasi nilai kemanusiaannya diruang kehidupan kita kini seolah hidup tanpa bekal logika dan akal sehat didalam ketidakberdayaannya secara menyeluruh berhadapan dengan kekerasan yang kerap mereka alami. Mereka menjadi tidak menyadari bahwa ada rantai kekerasan yang mengikatnya dan harus diputus segera jika tidak ingin kemanusiaan musnah secara sia-sia. Untuk memutuskan rantai kekerasan tersebut menurut penulis yaitu dengan memberikan ruang pemberdayaan yang cukup bagi perempuan dan anak dibidang literasi informasi, akses ekonomi, dan kemandirian karakter untuk dapat secara kuat lepas dari ketidakberdayaan. Sebab sejatinya perempuanlah terutama yang menyangga kehidupan dan membuat kehidupan lain bergantung padanya.
Ruang pemberdayaan tersebut penting untuk membangkitkan kekuatan perempuan dari ketergantungan dan kelemahan akal yang dapat menjadi jalan bagi kekerasan terhadap perempuan dan anak. Sehingga akan muncul perempuan terutama yang secara berani untuk memutuskan keterikatan dirinya pada rantai kekerasan, apakah itu yang dilakukan oleh suami, keluarga, rekan kerja, masyarakat, bahkan negara sekalipun. Tindakan memutuskan rantai ini apakah melalui forum pemberdayaan, pendidikan, gerakan, sangat penting untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dalam berbagai bentuk. Tetapi yang lebih utama daripada itu adalah bagaimana membangun kesadaran kritis perempuan sendiri, sebab tanpa adanya kesadaran kritis yang dimiliki oleh perempuan maka perjuangan mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak akan sia-sia.
Selama ini, perempuan hidup dalam kesadaran naif akan dunianya yang dipenuhi bayang-bayang patriarki. Sehingga tanpa sadar dibelenggu oleh rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak tanpa mampu menganalisis secara logika dan akal sehat kondisi-kondisi kelemahan dan ketidakberdayaannya yang menjadi sasaran empuk pelaku kekerasan terhadap perempuan, apalagi pasar, Kesadaran naif perempuan terhadap eksistensinya itu membuat perempuan tidak memiliki jejaring yang solid dengan sesama perempuan untuk memutus mata rantai kekerasan. Padahal perempuan dapat berkaca pada dunia patriarki yang solid antara sesama lelaki yang dapat membentuk paradigma patriarki dan menjadi bayang-bayang perempuan diposisi objek dengan kesadaran naifnya.
Meskipun misalnya, pendekatan secara masif telah dilakukan terhadap seluruh elemen masyarakat untuk mereposisi peran perempuan secara adil dari aspek gender, namun jika kesadaran kritis perempuan sendiri tidak dibangun melalui jalur pemberdayaan, maka rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak akan ada yang memulai untuk memutuskannya secara total. keberanian dari kesadaran kritis perempuan yang akan ditularkan kepada anak untuk memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak, sangat diperlukan agar kekerasan tersebut benar-benar berakhir dan dapat ditanggulangi dalam beberapa dekade kedepan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H