Lihat ke Halaman Asli

Alternatif Pendidikan

Diperbarui: 23 Juni 2015   22:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan di tanah air semakin menunjukkan wajahnya yang menyeramkan terhadap generasi penerus dan masyarakat. Kekerasan, ketegangan, stress, depresi, ketakutan, penyimpangan perilaku, dan sejenisnya, tengah mewarnai benak masyarakat dan generasi penerus di tanah air jika berbicara mengenai pendidikan. Pada tingkat perguruan tinggi, lembaga pendidikan semakin menjulang bak menara gading yang hanya bisa tersentuh oleh kalangan tertentu, baik itu dari segi praktis maupun manfaatnya. Hal ini semakin menjadi dimana era komersialisasi pendidikan tengah menampakkan jatidirinya.

Kebijakan pendidikan ditanah airbegitu diluar batas rasional untuk menjadikan peserta didik sebagai manusia yang nantinya dapat menikmati hasil pendidikan. Kurikulum yang kaku dan hanya berorientasi pada nilai, target kelulusan yang luar biasa ketat dan menjadi momok setiap tahun, telah menjadikan peserta didik memisahkan diri dari rasa kemanusiaannya. Padahal pendidikan adalah soal rasa menjadi manusia, beradab dan berbudaya.

Seperti yang dikatakan oleh Paulo Freire, dimana pendidikan adalah memanusiakan manusia dalam konsep pendidikan yang membebaskan dan memberdayakan. Bagi Paulo Freire, sudah selayaknya pendidikan diadakan untuk mendekatkan manusia kepada kemanusiaannya, agar nantinya dapat membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, kemiskinan, dan dapat menyelesaikan permasalahan disekitar kehidupan dan kemanusiaannya. Bukan sebaliknya, pendidikan diadakan untuk menjauhkan manusia dari kemanusiaannya, menjadikannya penindas bagi sesama, terjadi kesenjangan antara teori pendidikan dengan realitas kehidupan sehari-hari peserta didik.

Untuk itu, Paulo Freire memperkenalkan suatu gaya pendidikan hadap masalah demi alternatif pendidikan yang selama ini telah banyak dijalani, terutama dibekas negara kolonial dimana banyak lembaga pendidikan formal didirikan untuk menunjang kepentingan kekuasaan kolonial, bukan untuk membuat rakyat dinegara koloninya berdaya dan terbebaskan. Pendidikan yang diadakan untuk kepentingan kaum kolonial ini menyebabkan suatu mental ketergantungan, manusia didalam sistem pendidikan ini terpasung kedalam ide-ide kemanusiaannya dan budayanya, karena pendidikan hanya sekedar dimaknai dapat membaca, menulis, dan bekerja di lembaga-lembaga kekuasaan dan lembaga kapitalis.

Berbeda dengan pendidikan gaya hadap masalah, pendidikan yang banyak dikenalkan selama ini adalah pendidikan gaya bank dengan sistem pendidikan otoriter. Dimana guru adalah investor ilmu pengetahuan dan murid adalah pengumpul ilmu pengetahuan dari guru, dan suatu saat nanti, ilmu pengetahuan itu harus dikeluarkan sama persis dari apa yang telah guru transfer kepada murid. Murid tidak dapat berbuat banyak, kecuali harus patuh dan tunduk terhadap guru. Akan tetapi didalam pendidikan gaya hadap masalah, pendidikan diberikan untuk memberdayakan peserta didik baik itu guru maupun muridnya. Guru berdiri sebagai fasilitator sekaligus koordinator bagi murid-muridnya, yang sama-sama belajar dan sama-sama menghadapi serta menyelesaikan permasalahan disekitar kehidupannya.

Dalam pendidikan gaya hadap masalah, jati diri, identitas, aspirasi, pengalaman murid dan guru sama-sama didengar dan dibagi. Dengan menggunakan perangkat bahasa yang dapat dipahami dan disesuaikan dengan kondisi, lingkungan dan pengalaman murid, pendidikan digerakkan untuk mendekatkan murid dan guruuntuk peka terhadap realitas kemanusiaannya. Disini terdapat proses dialogis dalam menghadapi dan menyelesaikan permasalahan kehidupan yang ditemukan disekitar kemanusiaannya. Semua pengalaman dihargai, begitu juga bahasa, aspirasi, keinginan, harga diri, dan ide-ide yang berkembang diluar kurikulum.

Alternatif pendidikan gaya hadap masalah ini, kini banyak berkembang ditanah air karena merespon begitu dangkalnya pendidikan formal mewadahi generasi penerus bangsa dari segi kreativitas, ide, identitas dan harga diri yang tidak dapat lagi diukur dengan sekedar patokan nilai dalam angka. Dinamika sosial dimasyarakat, menginginkan kemunculan pendidikan alternatif ini untuk penguatan dan kelanggengan eksistensi manusia didalamnya. Dibutuhkan lebih banyak manusia yang kini tidak sekedar bekerja seperti robot, pasif, menunggu perintah, oleh karena itu kurang inovasi dan tidak kreatif serta miskin daya nalar dan anailisis.

Pendidikan formal di tanah air tidak mampu lagi memenuhi keinginan perubahan ini. Meskipun sistem akreditasi untuk menaikkan mutu lembaga dikuatkan, tetapi output pendidikan di tanah air dan proses didalamnya penuh dengan carut marut, manipulasi, dan kegagalan sistem jangka panjang yang berdampak kepada kemanusiaan. Lembaga pendidikan alternatif yang mencoba memperkenalkan pendidikan gaya hadap masalah, kini mulai berlomba dengan lembaga pendidikan formal, dan perlahan masyarakat mulai beralih serta mengakui keberadaan lembaga pendidikan alternatif ini yang dianggap lebih memanusiawikan juga lebih dapat memaksimalkan potensi anak didiknya, dimana kepercayaan diri, identitas, dan harga diri anak didik lebih terbentuk dan dihargai, dan yang lebih penting, alternatif pendidikan yang berkembang ini, tidak terpengaruh kepada kebijakan pemerintah yang masih sellau menganggap bahwa peserta didik baik guru dan murid adalah objek sasaran kebijakan negara yang mudah dikendalikan, dikontrol dan di steer.

Bagaimanapun juga, pendidikan adalah bagian dari kemanusiaan kita. Budaya dan peradaban yang terbentuk setidaknya mencerminkan hasil output proses pendidikan yang berlangsung dalam suatu sistem masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline