Pertemuan
cerpen oleh: Wening Yuniasri
Aku mencarimu di semua linimasa. Setengah putus asa. Aku memintamu untuk datang. Cepat dan tak terlambat. Semua penggalian arkeologi ini harus diakhiri. Akan kunyalakan lentera keberanian yang lebih terang, di sepanjang jalan yang kemudian kulalui. Takdir milikku sendiri.
Aku menutup tulisan serampangan segera setelah pintu kaca dibuka, menikmati antrean; pemeriksaan demi pemeriksaan. Menatap langit lapang dan mengisi banyak-banyak udara bebas ke dalam rongga pernapasan. Dari sini, hati dan jiwaku seolah-olah ingin melonjak terbang melebihi awan.
*
Meninggalkan daratan untuk meloncati tempat-tempat indah, barangkali itulah hal terpenting dari semua pertanyaan tentang keinginan dan cita-cita. Hal yang semua pelajar pernah menjawabnya, dengan penuh perhatian, sepertinya. Jika bukan sekadar iseng untuk memenuhi kolom pertanyaan. Namun bagiku, ini bagaikan rancangan doa-doa yang di kemudian hari akan terkabul. Sebuah mantra. Dengannya, sebagian besar desakan hati yang ditulis sekian tahun berselang, terjawab.
Tiga harapan. Dari tiga harapan itu, aku menulis ingin keliling dunia. Aku ingin mereka terpajang dengan sukaria, dibaca ratusan mata. Namun rupanya, sudah menjadi takdir bahwa harapan yang pertama saja yang ikut tercetak. Tidak mengapa sedikit kecewa. Lagipula, kelak juga akan terwujud. Demikian dulu aku berkesimpulan. Inilah, semuanya akan tepat. Garis takdir tidak akan meleset se-unit ukuran terkecil pun yang bisa diperkirakan manusia.
Meskipun ada kemungkinan seluruh hal terkabul, di antara semua harapan itu, tidak ada yang 'dengan sembrono' menuliskan ingin menikahi si anu. Tiba-tiba aku tertawa kecil terhadap pemikiran ini dalam perjalananku menaiki anak tangga dan menemukan sapaan wanita muda di pintu. Senyumku tetap bertahan di sana. Menyusur lorong, mencocok-dapatkan tempat, dan duduk. Melemparkan perhatian pada rumput dan gerumbul pepohonan. Pada batas horison. Aku menyamankan diri, meraih buku bersampul hitam, menyentuh sekilas sebuah ornamen kuning di salah satu sudut, lalu menggores lembar demi lembar dengan penuh minat; mengabaikan hiruk-pikuk penumpang mengulur-julurkan badan dan barang bawaan. Di luar jendela, sebuah sayap putih merentang berkilauan dengan gagahnya.
Bangku-bangku segera penuh. Dalam benak orang-orang yang pernah kutanyai, jumlah ini, persangkaan mereka, bukanlah jumlah yang banyak. Barangkali karena citra ruangan yang terkesan sempit ini, dan ratusan orang yang bergerak memenuhi setiap nomornya. Atau karena mereka hanya sibuk melihat deret kursi yang mereka naiki, seterbatas penglihatan yang mereka kehendaki saja.
Sebuah empasan badan di sisi kananku diikuti dehaman dan suara yang tiada asing. Tapi, bukankah di dunia ini selalu ada kemungkinan kemiripan wajah dan suara manusia? Demikian pula yang aku sampaikan di sebuah forum, lima jam sebelumnya. Sebuah ruang penuh riuh berseragam dan orang-orang muda yang penuh antusias. Suara ini bisa jadi siapa saja. Demikian aku berketetapan. Aku membalik halaman kertas dan menulis lebih banyak. Jadi, perlukah aku mengonfirmasi?
Terhenti di lembar berkolom, mengingat waktu dan tempat, aku mulai terganggu pertanyaan yang mulai membelit pemikiran, distraksi yang kubuat sendiri: Dari sekian banyak kombinasi wajah-suara-gestur, adakah kemungkinan 'tidak mungkin mirip', sehingga kita bisa menarik kesimpulan bahwa ini bukan -- dan tidak mungkin -- A, melainkan B?