Tanggal 20 Oktober kemarin adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua rakyat Indonesia, yaitu : punya Presiden dan Wakil Presiden baruuu! Saya haturkan terimakasih kepada Bapak SBY dan selamat jalan. Dan untuk Bapak Jokowi, selamat datang. Semoga Indonesia menjadi lebih baik. Amin. Dari proses pelantikan kemarin, hal yang paling menarik bagi saya malah sesudah acara pelantikan. Yaitu saat Bapak Jokowi mengadakan video conference dengan banyak pihak dari berbagai pulau dan propinsi. Tibalah saat kesempatan warga Papua, yang diwakili oleh anak-anak siswa SD, SMP , SMA dan tenaga pendidik. Dan, entah kenapa, ketika mereka menyanyikan lagu Indonesia Raya, saya merindiing disko, rasanya trenyuh aja. Presiden kita, Bapak Jokowi memberikan motivasi dan rangkulan hangat kepada Papua yang -katanya-daerah-tertinggal bahwa mereka adalah SAMA dengan daerah lain. Pendidikan memang sangat disorot oleh Bapak Jokowi untuk bisa ditingkatkan mutunya, fasilitasnya, sumberdayanya dan lainlain. Kontras dengan suasana tersebut, saya menjumpai seorang teman di kota saya yang bernama Mas Yusuf AN. Seorang guru, penulis, sastrawan, dan pemerhati pendidikan yang mengupas tentang 'susahnya' mendapatkan NUPTK di sekolah negeri. Dan berikut inilah surat terbuka yang beliau tulis lewat blognya yaitu www.tintaguru.com :
Kepada YTh.Assalamu’alaikum Wr.wb Semoga kita selalu diberi kesehatan lahir bathin. Amin Selanjutnya, dengan surat ini saya ingin menyampaikan beberapa hal, khususnya terkait NUPTK bagi guru Non-PNS yang bertugas di Sekolah/Madrasah Negeri. Nomor Urut Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK) seingat saya baru dimunculkan sekitar tahun 2007-2008, meski berdasar beberapa sumber NUPTK sudah mulai dibangun Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas tahun 2006. Waktu itu saya masih menjadi bendahara di sebuah Madrasah swasta. Saya, juga guru dan tenaga kependidikan lainnya, mengisi blanko pengajuan. Dan beberapa bulan kemudian NUPTK keluar. Semua tenaga kependidikan dan guru, baik yang PNS maupun guru tidak tetap mestinya berhak untuk mendapat NUPTK ini. Sebab NUPTK nantinya dijadikan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti berbagai program Kemendikbud seperti Sertifikasi, Tunjangatn Fungsional, dan lain sebagianya.
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI
- Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
- Kepala LPMP Seluruh Indonesia
Guru Non-PNS (Wiyata Bhakti) di Sekolah Negeri Tidak Bisa Punya NUPTK
Pada Hari Senin, 6 Oktober 2014 di Kantor Kementerian Agama Kabupaten Wonosobo diadakan pertemuan (audiensi) guru-guru yang belum punya NUPTK dengan pihak LPMP Jawa Tengah. Saya tidak ikut pertemuan ini, karena saya sudah punya NUPTK. Saya hanya mendapat kabar (keluhan) dari teman-teman yang memutuskan untuk walk out dari pertemuan, bersama guru-guru dari sekolah negeri lainnya. Kenapa mereka walk out? Sebab mereka seolah sudah kehilangan harapan untuk bisa memiliki NUPTK. Anda tahu, syarat untuk mendapatkan NUPTK bagi guru dan tenaga kependidikan Non-PNS yang bertugas di sekolah negeri adalah harus memiliki SK Bupati, atau SK dari Kantor Wilayah (Kanwil) Kementeriana Agama, jika bekerja di bawah naungan Kementerian Agama. Padahal, sejak awal tahun 2006, Anda juga tahu, Bupati dan Kanwil Kementerian Agama tidak lagi mengeluarkan SK bagi guru dan tenaga kependidikan yang wiyata di sekolah negeri. Ketika hal ini ditanyakan kepada pihak LPMP, mereka mengaku hanya menjalankan aturan yang sudah ditetapkan. Aturan itu mungkin dibuat oleh ini: BPSDMPK-PMP. Demi Tuhan, saya kasihan dengan teman-teman saya. Mereka yang sudah mengabdi menjadi guru wiyata lebih dari 5 tahun tapi tidak dapat memiliki NUPTK. Dengan tidak punya NUPTK mereka tidak bisa ikut sertifikasi dan terganjal tidak mendapat tunjangan fungsional yang akan sangat membantu dapur tetap ngebul. Di dalam Surat Edaran Ka. BPSDMPK-PMP Kemdikbud No. 14265/J/LL/2013 tanggal 24 Juli 2013 perihal Penerbitan NUPTK Baru, dinyatakan bahwa PTK yang masih terkendala ajuan NUPTK barunya karena aturan syarat SK Bupati/Walikota tersebut diakomodir oleh Layanan PADAMU NEGERI dengan memiliki PegID terlebih dahulu. Fungsi PegID untuk mengidentifikasi eksistensi seluruh PTK NON PNS termasuk Tenaga Honorer untuk kebutuhan pemetaan PTK sebagai bahan kebijakan selanjutnya. Oke, saya paham, memang ada PP no. 48 tahun 2005 Pasal 8 terkait dengan Larangan pengangkatan pegawai/guru di lingkungan instansi Pemerintah. Tapi penting diketahui: “Saya dan juga guru-guru yang wiyata di sekolah negeri mengajukan lamaran kerja, kemudian Kepala Sekolah memberikan kami SK.” Apa salahnya dengan kami? Semua orang tahu dan dapat membayangkan semisal semua guru yang wiyata di sekolah negeri mengundurkan diri, dan sekolah negeri tidak mau menerima guru wiyata lagi? Tentu, biaya yang harus ditanggung oleh negera akan meningkat ratusan kali lipat karena harus mengangkat guru PNS baru. Inilah yang semestinya disadari oleh Pemerintah. Sadar sesadar-sadarnya, bahwa Negara belum mampu mengangkat Guru PNS baru dan sudah sangat terbantu oleh hadirnya guru Wiyata. Sekali lagi, ini harus diakui. Lalu pertanyaannya, apa istimewanya Wiyata di sekolah negeri? Saya bertanya kepada diri saya sendiri. Dan saya jawab sendiri. Bahwa secara umum Guru Non PNS di sekolah negeri dan sekolah swasta sama saja. Terkait peluang diangkat PNS, tidak ada bedanya dengan guru yang wiyata di sekolah swasta. Justru, secara administratif, guru wiyata di sekolah negeri diganjal oleh aturan-aturan yang menyulitkan untuk bisa mengikuti program kesejahteraan bagi guru Non-PNS, semisal sertifikasi dan tunjangan fungsional. Sekali lagi, guru yang wiyata di sekolah negeri dan tidak punya SK Bupati/Kanwil Kementerian Agama dan atau masa kerja sebelum Desember 2005 tidak bisa mengikuti Sertifikasi Guru dan tidak bisa mendapatkan NUPTK. Saat ini syarat untuk mendapat tunjangan fungsional dan sertifikasi salah satunya harus punya NUPTK, tidak sekadar PegID. Maka, Jika PP no. 48 tahun 2005 Pasal 8 tidak segera diganti maka selamanya guru yang wiyata di sekolah negeri tidak mendapat kesempatan mendapat NUPTK, sertifikasi Guru dan tunjangan lainnya. Naif sekali bukan? Oleh sebab itu, kami mohon agar PP tersebut, juga Surat Edaran Ka. BPSDMPK-PMP Kemdikbud No. 14265/J/LL/2013 untuk ditinjau ulang dan diperbaharui. Kita tahu, guru dan pegawai wiyata secara umum memiliki tugas dan kewajiban yang sama. Namun, hak mereka pada kenyataannya selalu dibedakan. Kalau toh hanya soal gaji itu dapat dimaklumi, tapi dalam hal tunjangan profesi, dan pemilikian NUPTK mestinya tidak dibeda-bedakan. Wahai Bapak Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Kepala BPSDMPK-PMP, Kepala LPMP Se-Indonesia, atau instasi apa saja yang mengurusi soal ini, mohon untuk dibaca dengan kelembutan hati, bukan dengan pikiran yang kaku dan keras. Mohon maaf jika ada kata tidak berkenan. Terimakasih sudah berkenan mendengar aspirasi kami. Demikian. Wassalamu'alaikum Wr.wb Wonosobo, 13 Oktober 2014 M. Yusuf Amin Nugroho NB. Kepada pengunjung sekalian mohon untuk turut menyebarkan surat terbuka ini. Terimakasih kebaikannya.
-o- Dan saya kembali trenyuh dengan kata-kata Mas Yusuf AN :
"Nah, bagi teman-teman yang ingin menjadi guru. Berproseslah dengan baik, dan kembali menata niat. Menjadi guru bukan karena mengejar tunjangan profesi yang besar, tapi karena ada misi yang mulia, yaitu mencerdaskan bangsa."
Lalu, apa hubungannya dengan pelantikan Jokowi sebagai Presiden? Seharusnya ada! Dengan adanya hal yang baru, kami berharap sesuatu yang lebih baik. Apalagi dengan adanya Presiden baru. Kami juga berharap segala sesuatunya bisa lebih baik. Pendidikan yang lebih baik. Karena, tugas kita sebagai seorang pendidik adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Bukankah seharusnya begitu?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H