Lihat ke Halaman Asli

Weni Fitria

Pendidik dan Pembelajar

Sang Pejuang Cita-cita, Pewaris Semangat Kartini

Diperbarui: 26 April 2020   17:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Gambar RA Kartini|Foto: RyanGambar

Hari ini adalah Hari Kartini. Tepat jatuh pada tanggal 21 April, hari lahirnya Raden Ajeng Kartini yang dikenal sebagai sebagai Pejuang Emansipasi Wanita. Bagi saya Kartini adalah Tokoh yang kukuh memperjuangkan cita-citanya. Pejuang yang berusaha menyampaikan pemikirannya tentang hak dan derajat perempuan. Beliau bercita-cita agar perempuan Indonesia menjadi perempuan yang maju dan tidak sekedar "manut" pada kehendak orang lain. Salah satu jalannya adalah melalui pendidikan.

Saya tidak akan mengulas lebih jauh tentang sosok Pahlawan Nasional ini. Karena saya tahu persis sudah banyak para ahli, para tokoh maupun para penulis yang telah mengulas tentang beliau dari berbagai sisi. Baik itu dari sisi sejarah hidupnya, pemikiran-pemikirannya, bahkan ada yang mencoba mempertanyakan "kepantasannya" sebagai sosok pencetus emansipasi wanita di Indonesia. 

Saya hanya akan mencoba menuturkan sebuah kisah dari seseorang yang sebetulnya belum tentu layak disebut sebagai sosok Ibu Kartini  masa kini. Namun saya melihat ada salah satu bagian dari sikap hidupnya, yang paling tidak "mewarisi" semangat Ibu Kartini. Terutama semangatnya menjadi orang terdidik dan berusaha mewujudkan impiannya dalam memperoleh pendidikan. 

Sosok itu adalah salah seorang siswa saya yang menurut saya layak disebut sosok yang mewarisi semangat Ibu Kartini. Saya mengenalnya kurang dari dua tahun yang lalu. Sosoknya yang sederhana begitu memikat, ketika pertama kali ia datang ke madrasah tempat saya mengajar. 

Dia langsung menyalami dan mencium tangan saya dan para guru yang berada di sana ketika itu. Kebetulan saya dan beberapa guru lainnya tengah duduk bersama sambil memperhatikan siswa baru yang berlalu lalang melakukan pendaftaran ulang sebelum semester tahun pelajaran baru dimulai.

Sebut saja namanya Wika. Menurut saya dia adalah anak yang cerdas dan juga istimewa. Saya bukan peramal, namun pengalaman mengajar bertahun-tahun telah mengajarkan saya bagaimana mengenali anak didik secara cepat. 

Walaupun jujur saya katakan, adakalanya saya salah menilai. Namun saat itu saya merasa yakin, saya menangkap bahwa ia adalah anak yang istimewa. Saya bisa melihat kecerdasan disertai sinar mata penuh penghormatan sekaligus keteguhan hati seorang anak perempuan yang jarang saya temui pada anak-anak seusianya.  

Perkenalan yang singkat kala itu, namun membekas bagi diri saya. Dengan akan segera dimulainya tahun ajaran baru, saya berharap akan berjumpa lagi dengannya di ruang kelas. 

Gadis manis yang tengah beranjak remaja, yang sedang melangkah menyongsong masa depannya di madrasah ini. berangkatdari kampung halamanya yang cukup jauh berkisar lebih dari lima jam perjalanan.

Itu cerita yang sudah berlalu. Saat ini, sudah hampir dua tahun ini saya mengajarnya. Tebakan saya tepat, Ia memang seorang siswa cerdas luar biasa, nilai ulangan hariannya hampir selalu sempurna. Nilai rapornya pun selalu mengungguli teman-temannya. Ia juga memiliki kehalusan budi pekerti dan sopan santun yang tak kalah luar biasa dari isi kepalanya.

Namun ada satu hal besar yang menjadikan Wika menjadi lebih istimewa dimata saya. Sejak awal ia mulai belajar di madrasah kami, para guru langsung mengetahui bahwa ia berasal dari keluarga yang kurang mampu. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline