Mengelola pajak bagi bisnis restoran adalah salah satu aspek penting dalam menjaga bisnis restoran. Dua komponen pajak yang harus diperhatikan oleh pemilik restoran adalah Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Memahami dan mematuhi kewajiban perpajakan ini dapat membantu bisnis berjalan lancar, menghindari sanksi hukum, dan memaksimalkan efisiensi perpajakan.
1. Pajak Penghasilan (PPh) untuk Restoran
Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas laba atau keuntungan yang diperoleh restoran. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penghitungan PPh:
PPh Pasal 4 Ayat (2) atau PPh Final : UMKM dengan omzet tahunan di bawah Rp4,8 miliar dikenakan tarif PPh Final sebesar 0,5% dari omzet bruto. Banyak restoran skala kecil hingga menengah memilih opsi ini karena lebih sederhana.
PPh Badan atau PPh Pasal 25/29 : Jika restoran beromzet di atas Rp4,8 miliar, maka perhitungan PPh didasarkan pada laba bersih yang dikenakan tarif progresif PPh Badan sebesar 22%. Restoran harus membuat pembukuan lengkap untuk menghitung penghasilan bersih setelah dikurangi biaya operasional, gaji karyawan, dan lainnya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk Restoran
PPN adalah pajak yang dikenakan atas barang dan jasa yang dijual oleh restoran. Namun, tidak semua restoran wajib memungut PPN. Berikut beberapa ketentuannya:
Kewajiban PPN : Restoran yang omzetnya melebihi Rp4,8 miliar per tahun wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan memungut PPN sebesar 11% dari harga makanan dan minuman yang dijual.
Pengecualian PPN : Restoran kecil dengan omzet di bawah batas PKP tidak wajib memungut PPN, meskipun tetap harus melaporkan pajak penghasilannya.
Baca Juga: https://www.smrkonsultan.com/cara-mengurus-pajak-royalti