Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan terhadap gugatan kepada Undang-Undang nomor 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja. Salah satunya adalah melarang pemerintah mengeluarkan kebijakan serta pertaturan yang strategis dan berdampak luas berdasarkan UU tersebut. Waktu untuk perubahan dan perbaikan atas aturan tersebut diberikan selama dua tahun sejak ketentuan dikeluarkan.
Artinya, Undang-undang yang merupakan gabungan dari 78 UU terdahulu tetap berlaku sebagaimana ia ditetapkan, atau aturan lain turunan lain yang telah dibuat tidak mengalami pembatalan, termasuk salah satunya Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang pengupahan.
Pemerintah sendiri melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto serta Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoli menyatakan menerima ketetapan MK dan akan menjalankan semua yang diperintah dalam artian, untuk dua tahun ke depan paling lama, revisi dan perbaikan UU tersebut sudah akan selesai. Mahkamah Konstitusi juga tidak menyebut keputusan mereka berlaku surut, alias seluruh ketetapan yang dikeluarkan tetap akan berlaku. Pemerintah hanya dilarang membuat keputusan baru, sementara yang sudah keluar, artinya tetap bisa dijalankan.
Sampai di sini semestinya pihak-pihak yang terkait dengan aturan ini sudah menerima dan memahami. Karena tuntutan mereka sebagian telah dipenuhi dan pemerintah sebagai tergugat juga akan menjalankan apa yang ditetapkan. Namun demikian, tetap saja ada pihak yang tak menerima dengan ketetapan yang keluar itu.
Tidak hanya menolak, mereka juga menuntut sesuatu yang lebih dari apa yang semestinya diterima. Salah satu pihak itu adalah Said Iqbal. Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) secara gegabah mendesak agar keputusan pemerintah daerah yang telah mengeluarkan aturan UMP (Upah Minimum Provinsi) 2022 seperti di DKI Jakarta, membatalkan aturan yang telah mereka keluarkan berdasar kepada UU Cipta Kerja dan peraturan turunannya, yaitu PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Dia beralasan ketetapan yang dikeluarkan MK tersebut juga berarti landasan baru aturan pengupahan itu menjadi batal. Semua harus dikembalikan lagi kepada pada peraturan lama, yaitu Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan,"katanya saat berbicara melalui jumpa pers virtual di Jakarta, Jumat (26/11/2021).
Padahal, UU nomor 13 tahun 2003 itu sendiri sudah masuk dalam bagian UU no 11 tahun 2020 tersebut dan MK sama sekali tidak menyinggung hal tersebut dalam amar mereka.
Sejatinya Said sudah paham dan mengerti kemana arah keputusan MK itu ditujukan, namun sebagai juru bicara sebuah organisasi tempat dia cari makan, maka wajar saja terjadi ketidaksinkronan antara otak pikiran. Sehingga gagal memahami apa yang menjadi tujuan keputusan tersebut, sambil memaksakan agenda pribadi dan kelompoknya saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H