Derasnya era globalisasi telah merontokkan nilai-nilai adat budaya remaja Minangkabau. Khususnya fenomena kehidupan remaja (laki-laki dan perempuan) yang sekarang telah terjebak dalam kehidupan bebas tanpa batas, antara pergaulanbujang jo gadihsecara adat Minangkabau. Pada akhirnya mereka melanggarpantang jo larangan adaik(hukum adat).
Kondisinya sangat parah. Remaja Minang melakukan pergaulan bebas di atas ambang toleransi. Mereka tidak tahu lagi dengan prinsip Minangsawah nan bapamatang. Mereka tidak tahu dengan kondisitapi awuidengantapi lawui. Sehingga, banyaknya catatan penyimpangan yang terjadi akibat pergaulan bebas tersebut, seperti anak gadis yang hamil di luar nikah, pemerkosaan, seks bebas, narkoba dan lainnya.
Pergaulan bebas yang terjadi di kalangan anak remaja Minangkabau tersebut berakibat maraknya terjadi pergaulan dan kawin satu suku (sasuku). Kawin sasuku yang dimaksud di sini adalah suatu hubungan pergaulan dan perkawinan/pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dengan perempuan Minangkabau yang masih hubungan satu suku (satu marga). Misal, si bujang Amir nikah dengan si Upiak Marin yang sama-sama bersuku Guci satu penghulu maupun beda penghulu.
Atau secara akademis, menurut Prof. Damsar, jika orang dilarang kawin sasuku disebut dengan larangan eksogami marga. Sedangkan di Minangkabau garis keturunan berdasarkan garis keturunan ibu, maka disebut larangan eksogami matrilokal. Sehingga nikah sasuku bukan kontek perkawinan halal dan haram, tapi perkawinan yang dibangun atas dasarraso jo paresodan sumpah/kesepakatan dalam aturan baku para nenek moyang. Dalam hukumwarih nan bajawekyang dijalankan dan dituahi oleh penghulu/ninik mamak sekarang.
Larangan pergaulan dan perkawinan sasuku tersebut bagi masyarakat Minangkabau akhirnya wajib. Karena, masyarakat Minangkabau memandang bahwa hubungan sasuku merupakan hubungan satu keluarga, hubungan dekat. Sehingga, hubungan pergaulan dan pernikahan yang masih dalam kategori sasuku dianggap terdapat pelanggaran adat.
Sehingga, pergaulan dan perwakinan sasuku menjadi penting disikapi oleh para penghulu/ninik mamak, ketika ada pelangaran yang dilakukan oleh sanak kamanakan, maka sanksi adat akan dijalankan secara tegas.
Jika dilihat pergaulan dan perkawinan sasuku ini biasanya disebabkan banyak factor. Di antaranya, lama merantau, ada pasangan laki-laki dan perempuan sama-sama merantau, di dalam perantauan mereka bertemu. Suka dan akhirnya kawin/menikah. Dalam pernikahan tersebut tanpa mengetahui asal usul suku nenek moyang dulu di Minangkabau atau tanpa melibatkan mamak dalam proses perkawian dan pernikahan tersebut, ketika pulang kampung ke ranah Minang baru disadari bahwa mereka sasuku. Sehingga, dipisahkan dan diberi sanksi oleh penghulu/mamak.
Ada perkawinan sasuku akibat pergaulan bebas tanpa nilai kewajaran. Seperti filosofi Minang menjelaskan akibatabih gali dek galitiak, abih miang dek bagesoh. Artinya karna pergaulan tidak ada batas norma-norma agama antara laki dengan perempuan, sehingga terjadilah hubungan istimewa, pacaran bahasa anak remaja sekarang.
Karena kurang pemahaman adat, atau tidak bisa dipisahkan hubungan tersebut, akhirnya mereka kawin/nikah lari ke rantau. Karena tidak sanggup hidup di rantau mereka pulang kampung, lalu penghulu/mamak memberi sanksi. Banyak faktor lain yang menyebabkan pergaulan dan kawin/nikah sasuku ini terjadi.
Di dalam adat Minangkabau, perkawinan sasuku dilarang sekali. Jika dilanggar, maka pasangan yang melakukan perkawinan akan diberi sanksi adat, yaitu sanksinan dibuang jauh, disangai indak baapi, di gantuang tinggi dak batali. Artinya di mana orang yang melakukan perkawinan/pernikahan sasuku tersebut akan diusir atau dibuang dari suku oleh penghulu/mamak. Atau salah satu dari pasangan itu mengganti/pindah suku. Itulah ketegasan sanksi adat dari kawin/penikahan sasuku yang ditegakkan di Minangkabau.
Di beberapa nagari, kaum, suku di Minangkabau, pelarangan perkawinan dan pernikahan sasuku tersebut masih berjalan dengan ketat. Walaupun, dalam diskusi ilmiah, akademisi masih didapati perdebatan tentang perkawinan/pernikahan sasuku ini boleh atau tidak.
Tapi pada tulisan ini penulis tidak melihat dari konteks perdebatan boleh atau tidak kawin sasuku tersebut. Namun, mencoba melihat dari konteks kebaikan penataan kehidupan dan adab tatanan berhubungan atau pergaulan secara adat bermasyarakat terutama untuk para remaja.
Menurut penulis, jika adat kawin sasuku ini diterapkan dan ditanamkan secara mendalam di kalangan para remaja maka nilai-nilai “adat basandi syarak-syarak basandi kita bullah” bisa makin membudaya dalam skala yang lebih kecil yaitu suku dan nagari. Artinya, para remaja di satu suku dan nagari tersebut bisa diantisipasi terkena virus pergaulan bebas globalisasi,
Karena, antara satu suku, mereka sudah merasa dirinya satu keluarga, secara otomatis jika kehiduan satu keluarga akan menjaga hubungan pergaulan antarmereka. Apalagi, mamak mampu menanamkan nilai-nilai Agama Islam di dalam pergaulan para kaum dan sukunya, maka kepribadian para remaja akan lebih berbudaya dan beragama.
Saat ini, secara umum kehidupan remaja Minang tidak paham dan tidak mengerti dengan nilai-nilai larangan kawin/pernikahan sasuku. Jika dianalisa, larangan kawin/pernikahan sasuku merupakan suatu hakikat nilai yang memiliki makna prinsip adat yang luas. Kawin/pernikahan sasuku tidak hanya melarang mereka kawin/nikah tapi ada suatu adab tata krama pergaulan bermasyarakat yang bisa dikembangkan dalam bentuk teknis. Tidak hanya sekadar melarang dan memberi sanksi kawin sasuku. Tapi, ada nilai-nilai kebaikan yang terkandung di dalamnya.
Selaku orang Minangkabau, maka nilai-nilai larangan kawin/pernikahan sasuku secara teknis yang terkandung di dalamnya yang perlu dikembangan dan ditanamkan. Ibarat orang bersaudara sudah dipastikan akan menjaga hubungan komunikasi, menjaga adab bergaulan, menjaga interaksi idividu, dan banyak hal lain.
Jika nilai-nilai kawin sasuku bisa dibudayakan dalam kehidupan basuku atau banagari maka analisia penulis ke depan, pergaulan bebas yang terjadi di tengah masyarakat Minangkabau yang mencemaskan ini di kalangan remaja bisa diantisipasi. Sehingga, ke depan masyarakat keluar dari penyakit remaja, maka ke depan tidak ada lagi anak gadis yang hamil di luar nikah, tidak ada seks bebas, dan lainnya.(*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H