Lihat ke Halaman Asli

Kata Sangan dalam Bahasa Minang

Diperbarui: 4 April 2017   17:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tiba-tiba terpikir olehku pada kata yang satu ini. Rasanya sudah sangat jarang digunakan. Kata [sangan] berarti sampai atau hingga. Saya kurang tahu apakah ini khusus dialek padang kota atau minang pada umumnya. Tapi setahuku dialek padang kebanyakan juga sudah jadi standar bagi dialek minang antar berbagai daerah/nagari di dalamnya. Contoh penggunaan kata ini adalah pada kalimat, "(a)den patang antaan nyo sangan tapi (ba)tang aie". Artinya, "saya kemaren antarkan dia sampai ke tepian sungai.

Kosakata [sangan] ini saya rasa perlu diabadikan lewat tulisan. Kata ini penggunaannya rentan tergeser oleh kata [sampai] yang sama2 ada dalam bahasa melayu dan bahasa indonesia modern. Juga oleh kata [sehingga] yang dalam dialek minang jadi [sahinggo] atau lebih singkatnya lagi [singgo]. Saya bersyak wasangka kata [sahinggo] ini tidak orisinil minang tapi justru pelogat-minangan dari kata bahasa indonesia yang makin umum didengar. Kemiripan kata2 lain ini dengan bahasa indonesia yang lebih makin umum digunakan akan bisa menyebabkan kata [sangan] bisa punah. Kalau kata lain yang sinonimnya tidak ada kemiripan bunyi dengan arti yang sama dalam bahasa indonesia mungkin akan lebih lama bertahan. Karena sinonimnya tersebut tidak lebih punya peluang untuk sering digunakan karena lebih sering terdengar.

Ada juga kata yang "situasinya" seperti ini yakni kata [sangkek] yang bersinonim dengan [sajak] yang berarti [sejak] dalam bahasa indonesia. Sedang istilah sajak dalam perpuisian tidak dikenal dalam bahasa minang selain berupa pantun yang merupakan nama karya bukan bentuk karyanya. Makanya lagi2 saya curiga ini tidak orisinil minang tapi akibat penjajahan bahasa juga. Kata sangkek ini saya rasa juga menjadi jarang digunakan tapi lebih sulit untuk punah karena ia terdapat dalam lirik lagu populer "Kampuang Nan Jauah di Mato" yang di 're-make' adinda Chikita Meidy. Tepatnya pada larik: "sangkek basuliang-suliang (sejak masa masih main suling". Sementara kata [sangan] saya belum menemukan lagu, pepatah, atau narasi besar apalah yang menggunakannya sehingga bisa tercatat abadi. Ia hanya ada dalam tuturan keseharian orang minang yang makin terpengaruh bahasa indonesia. Riset kecil2an di 'google search' juga hanya menemukan kata ini digunakan untuk penggorengan tanpa minyak goreng yang mana jelas bukan merupakan peristiwa biasa dan sering. Lebih banyak lagi goole mencatatnya sebagai typo atau salah ketik untuk kata [sangat] dalam bahasa indonesia.

Sementara juga, kata [sangkek] tadi punya kemiripan bunyi dengan kata bahasa minang lainnya [singkek] yang berarti [singkat] atau [pendek]. Sehingga ini menambah besar peluang untuk ia tidak dilupakan karena kata [singkat] tentunya punya intensitas penggunaan cukup tinggi. Kepunahan satu per satu setiap kata dalam sebuah bahasa daerah adalah keniscayaan seiring peralihan tren kode komunikasi oleh masyarakat. Sebagai contoh saya terkejut ketika teman saya yang sehari-hari hidup di Minangkabau, tidak pernah merantau, ternyata mengajari berkomunikasi dalam bahasa indonesia anak kecilnya dengan alasan membiasakan anak karena tinggal di komplek perumahan yang mungkin tetangganya multi-etnik. Faktanya juga orang minang memang suka memaksakan berbahasa indonesia entah untuk kebutuhan politik, nge-gaya atau apalah. Saya tidak menyalah2kan; sekedar mencatat peristiwa saja.

Suatu hari saat masih kuliah di tanah rantau saya pernah coba terus berkomunikasi dalam bahasa minang dengan pegawai rumah makan padang yang terus menjawab dalam bahasa indonesia. Padahal dari logatnya saya tahu persis dia minang tulen. Belum tahu beliau bahwa saya ini calon sarjana bahasa indonesia hehe. Seorang menteri malaysia keturunan minang pun pernah bercerita di media massa bahwa lawan komunikasinya seorang pejabat keturunan minang di Jakarta juga terlihat enggan menggunakan bahasa nenek moyang kami ini. Menteri asing ini jugalah yang pertama kali menerbitkan kamus bahasa minang sementara minangkabawer yang tidak pernah keluar daerah sibuk berbahasa indonesia ria. Sekali lagi saya tidak menyalahkan siapapun, hanya bercerita apa adanya. Sebagai contoh pegawai rumah makan tadi; bisa jadi ia dipaksa oleh bosnya yang merasa kuno mendengarpenggunaan bahasa daerah di tempat bisnisnya. Nah, yang terakhir ini namanya menduga-duga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline