Lihat ke Halaman Asli

Welhelmus Poek

Foto Pribadi

Memaknai Perjuangan Kartini

Diperbarui: 22 April 2017   20:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hingga saat ini, euforia perjuangan Kartini masih terasa pada semua generasi. Tua-muda, laki-laki- perempuan seakan tidak mau melewatkan moment ini begitu saja. Apalagi Pemerintah Indonesia telah menetapkan Perayaan Hari Kartini setiap tanggal 21 April, yang mana sebagai bentuk penegasan keberpihakan pemerintah terhadap nilai-nilai perjuangan Kartini dan perempuan Indonesia pada  jaman perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. Perayaan ini juga sebagai bentuk apresiasi atas perjuangan kaum perempuan atas hak-hak yang seharusnya mereka dapatkan layaknya yang dialami kaum laki-laki, misalnya hak mendapatkan pendidikan yang setara.

Salah satu Quotes dari Kartini yang ditulis dalam buku yang sangat fenomenal  dan juga menjadi Judul Buku tersebut “Habis Gelap Terbitlah Terang”. Seakan menjadi magnet dalam perjuangan emansipasi wanita hingga saat ini. Masyarakat Indonesia juga tentunya tidak asing dengan berbagai inspirasi beliau tatkala berusaha mendorong serta membuka mata kaum patriaki untuk memberi kesempatan kepada kaum femenis. Misalnya, “Teruslah bermimpi, teruslah bermimpi, bermimpilah selama engkau dapat bermimpi! Bila tiada bermimpi, apakah jadinya hidup! Kehidupan yang sebenarnya kejam”.Lainnya, “Jangan pernah menyerah jika kamu masih ingin mencoba. Jangan biarkan penyesalan datang karena kamu selangkah lagi akan menang”. Masih banyak lagi.

Tentunya latar belakang perjuangan Kartini tidak sekedar mengumbar kata-kata manis. Namun, lebih dari pada itu adalah bagaimana Kaum Perempuan ditempatkan pada posisi yang sejajar dan bermartabat.

Nah, apakah memaknai perjuangan ini hanya sebatas merayakannya setiap tahun, mengenakan Kebaya atau sekedar membuat berbagai perlombaan atau kegiatan lainnya yang melibatkan perempuan? Tentunya kita semua sudah seharusnya sepakat bahwa perayaan ini bukan sekedar menjadikan perempuan sebagai “boneka” sehari.

Melihat Fakta

Bila kita boleh jujur mengevaluasi perjuangan ini, banyak fakta berbicara bahwa kita masih jauh mencapai target yang diharapkan Kartini dan kawan-kawannya. Kita tidak menampik kalau sudah ada beberapa langkah maju yang sudah dilakukan oleh semua pihak, tapi sekali lagi kita harus jujur bahwa masih jauh dari harapan.

Bila kita bandingkan masa lalu dan apa yang terjadi saat ini khususnya di dunia pendidikan, tentunya bisa kita katakan kesempatan mendapatkan pendidikan antara perempuan dan laki-laki pada semua jenjang mendekati setara. Sekalipun pemerintah sudah membuka peluang itu melalui berbagai kebijakan, namun dibeberapa tempat dengan situasi tertentu, masih ada perempuan yang belum mendapatkan pendidikan yang setara dan layak. Tetapi paling tidak, dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, banyak diantara mereka yang sudah mendapatkan pendidikan baik secara formal, non-formal dan informal.

Kita tahu bahwa banyak perempuan Indonesia yang berpendidikan tinggi, bahkan ada yang pendidikannya biasa-biasa saja, tetapi mereka mampu membuka cakrawala berpikir kaum laki-laki, bahwa mereka mampu menjadi seorang pemimpin yang berintegritas tinggi. Sebut saja Ibu Sri Mulyani dan Ibu Susi Pudjiastuti. Kedua sosok perempuan fenomenal yang mengisi kabinet Pemerintahan saat ini, benar-benar bisa dianggap sebagai salah satu evidence bahwa perempuan ternyata bisa, bila ada kesempatan bagi mereka.

Tetapi ini tidaklah cukup, ternyata sampai saat ini, bila kita melihat berbagai persoalan yang menimpa kaum perempuan, sangatlah miris. Sebut saja, Korban Kekerasan Rumah Tangga, Korban TKI/TKW, Korban Pelecehan Seksual, Korban Human Trafficking dan masih banyak lagi; kaum perempuan lebih dominan mengalaminya. Yang menjadi miris, sepertinya persoalan-persoalan ini kurang “seksi” ketimbang menampilkan “sensualitas” perempuan saat perayaan Hari Kartini, misalnya mereka diminta ataupun secara spontan berkebaya or berbatik-ria. Banyak dari persoalan perempuan sepertinya tidak direspon dengan baik. Kita ambil contoh, katakanlah kalau ada 10 persoalan perempuan yang dilaporkan, mungkin saja hanya 20-30%nya direspon atau tertangani. Miris memang.

Harusnya kita totalitas terhadap semua lini kehidupan. Perempuan dan laki-laki mestinya tidak hanya sekedar sejajar, tetapi punya power yang sama. Apalah artinya, seorang perempuan diberi kesempatan menjadi pemimpin dan atau mengambil keputusan, jika ternyata dibelakangnya diintervensi oleh kaum laki-laki?.

Sudah saatnya kita sebagai laki-laki “mengalah” dan lebih memberi kebebasan bagi perempuan untuk menentukan sikap sendiri.  Kita harus berani berdiri tegak dan mengakaui sebagai partner untuk membangun kapabilitas perempuan. Kita juga seharusnya mengakui, bahwa perubahan mindset tidak hanya sekedar meningkatkan kapasitas perempuan, tetapi juga kapasitas laki-laki untuk “mengakui” dan menghargai perempuan bukan sebagai pelengkap, tetapi partner yang sejajar dan lebih bermartarbat. Jadi, Jangan biarkan terang itu kembali menjadi gelap!.

SELAMAT HARI KARTINI, 21 April 2017

Bali, 22 April 2017




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline