Lihat ke Halaman Asli

Yang Orang Sering Salah Tentang Islam

Diperbarui: 26 Juni 2015   06:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Pada awalnya, saya sangat marah atas ulah Antonius Richmon Bawengan, beberapa waktu lalu, atas bukunya “Ya Tuhanku, Tertipu Aku”. Namun, selanjutnya saya berfikir keras, tentunya Antonius Richmon memiliki dasar sendiri mengapa ia sampai membuat buku tersebut. Melalui pencarian kesana kemari, akhirnya saya menemukan ikhtisar buku tersebut. Kisah Antonius Rihmon Bawengan ini sebenarnya sudah ada dari beberapa tahun setelah masa kenabian Nabi Muhammad salallahu ‘alaihi wassalam (s.a.w). Tercatat dari beberapa kisah dari barat (ma’af bukunya belum ketemu, nanti kalau ketemu saya susulkan), yang menceritakan bagaimana; Mahoud (lidah barat waktu itu belum bisa menyebut Muhammad/Mohammad), seorang penyihir yang jahat, yang dengan kekuatannya ia bisa mempengaruhi orang. Masa berlalu, kata Mahoud, berubah menjadi Mahomet, dan kisahnya masing tentang penyihir jahat… Hingga beberapa ratus tahun setelahnya, -seiring kemajuan jaman- orang menjadi lebih mengenal Mahomet, sebagai pemimpin dari bangsa barbar di timur. Ketika “the darkness age” menguasai Eropa, orang barat begitu terkesima dengan kemajuan bangsa timur, dan cerita tentang Mahomet pun berbalik. Memang benar pepatah mengatakan, “tak kenal maka tak sayang”, makanya untuk meluruskan pemahaman Antonius dan beberapa warga Indonesia tentang Islam, maka mudah-mudahan apa yang saya paparkan ini dapat membantu orang lebih memahami ajaran Islam.. 1.      Tudingan Antonius Richmon bahawa Nabi Muhammad masuk Neraka. Berikut tudingan Richmon: “Setiap umat muslim pasti disuruh memanjatkan Shalawat Nabi. Permohonan agar sejahtera ilahi dilimpahkan kepada Muhammad. Itu sebabnya Muhammad bergelar s.a.w. (S.A.W. dalam bahasa Inggris: ‘PBUH’, Peace and Blessings Be Upon Him; kedamaian dan kesejahteraan kiranya memenuhi Muhammad (sudah almarhum). Jika Nabiullah sudah di surga, tentu tidak perlu gelar s.a.w. itu. Berarti Muhammad sampai saat ini (masih dishalawatkan!) belum bergabung dengan sorga kekal! Berbeda sekali halnya dengan Yesus/’Isa a.s. (alaihi salam, berarti sudah selamat!) Ahlul Sorga ‘Isa/Yesus itu! Rupanya, menjelang ajal, Muhammad sadar bahwa dia akan menuju Neraka! Namun Muhammad masih berharap diselamatkan melalui shalawat umatnya. Maka Muhammad meminta agar para sahabat dan pengikutnya bershalawat bagi dirinya. Menanggapi peryataan ini, ijinkan saya menjelaskan sejauh wawasan yang saya ketahui tentang shalawat atas Nabi. Firman Allah SWT, dalam QS Al-Ahzab 33: 56:  Sesungguhnya Allah dan Malaikat-Nya bershalawat kepada Nabi. Wahai orang-orang yang beriman bershalawat salamlah kepadanya. Shalawat, sejauh pemahaman yang saya ketahui bukanlah do’a, melainkan ucapan; salut/ salam, dan juga gelar. (ada gelar; “alaihi salam”, ada juga “salallahu alaihi wa salam”, untuk beberapa Nabi dan Rasul, juga ada gelar untuk para sahabat nabi; Radhiyallahu 'anhu ). 2.      Kata ‘kami’ dalam Al-Qur’an Banyak sekali pertanyaan meragukan monotheisme Islam, karena kata “kami” dalam Al Qur’an. Sebagai contoh saya kemukakan surat Al Insyiraah, ayat 1– 8; “Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu?,{1} Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu,{2} Yang memberatkan punggungmu?{3} Dan Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)-mu,{4} Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,{5} Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.{6} Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain,{7} Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.{8}” Kata “Kami”, diatas bukanlah, bentuk kumpulan jamak, melainkan bentuk sopan, dari tunggal, hal ini adalah karakteristik bahasa Arab. Pada masalalu, orang tua atau kakek kita, sering menggunakan kata ‘kami’, sebagai ganti kata “aku”, untuk kehalusan bahasa. Kalau kata “kami” ini bersifat majemuk, tentu dari dulu ulama sudah berdebat tentang hal ini. Sudah 1400 tahun lebih, orang tidak mempermasalahkan hal ini, ahli ketimuran tidak mempermasalahkan, dan kini, kita, dengan ejaan bahasa baru dan gaya bahasa kekinian yang tidak memahami konteks kalimat mempermasalahkannya. 3.      Intervensi Agama Mungkin point nomor 3 ini adalah point paling sensitive. Saya ada contoh kecil untuk hal ini. Beberapa tahun lalu ada tulisan seseorang yang menyalahkan pengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri, alasannya adalah kata Idul sendiri bermakna hari raya, sehingga terjadi pemborosan bahasa, Sehingga yang benar adalah Selamat Idul Fitri. Karena, saya lihat latar orang tersebut adalah dosen santa maria, saya membuat asumsi, tentu orang ini, tidak memahami penuh apa yang ia omongkan, makanya saya menggoda, melalui balasan tulisan saya yang saya kirimkan ke Koran ‘harian jogja’, dan ke santa maria. Singkatnya saya katakan, Anda tahu, Natal adalah Hari Kelahiran Yesus, arti kata natal sendiri secara leksikal adalah; “kelahiran”, mengapa anda meminta kita mengucapkan selamat hari raya Natal. Bukankah ini salah besar! Ucapan yang betul seharusnya adalah; Dirgahayu Yesus, bukan Selamat hari raya… (tak ada jawaban sampai kini, baik dimuat harian jogja untuk hak jawab saya atau dari orang ini ). Lebih ajaib lagi, tahun berikutnya, ada surat pembaca dari seseorang dari daerah godean, melalui Kedaulatan Rakyat, menyalahkan orang yang mengucapkan “Selamat Hari Raya Idul Fitri”. (dan, Orang yang sama adalah orang yang mencela kemenangan SD Muhammadiyah Sapen pada sebuah turnamen drumband di Yogjakarta, beberapa waktu sebelumnya, meski kemudian diklarifikasi oleh panitia lomba pada media yang sama). Ratusan tahun sudah, para ulama, dan segenap rakyat di Indonesia dan rumpun melayu selalu mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri sebagai bentuk sukacita Lebaran, kini tiba-tiba ada orang yang bermain kata, dan –celakanya- banyak umat Islam yang tidak tahu kontekstuasi kata ikut-ikutan menyalahkan. Saya tidak ingin memperuncing masalah, tetapi memahami orang-orang tersebut sebagai devian saja. Akhirnya, harapan saya melalui tulisan ini terutama umat Islam, agar memahami setiap ajaran Islam berdasar Iman, dan pemahaman Sejarah. Karena setiap ayat yang turun selalu mempunyai kisah sendiri (kontekstuasi), artinya pemahaman terhadap ayat adalah pemahaman arti (leksikal), yang dijiwai makna / kontekstuasi (Asbabun nuzul). Untuk teman-teman saya, yang berbeda keyakinan, anggaplah ini sebagai sedikit pengantar tentang Islam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline