Lihat ke Halaman Asli

Perbedaan

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duluuuuu....ketika saya SD, hari raya adalah hari yang paling ditunggu-tunggu. Hari raya agama apapun. Karena pada saat itu adalah waktunya kue-kue dan segala makanan enak membanjiri kelas kami. Kunjungan ke rumah guru-guru dan teman-teman yang merayakan menjadi moment yang paling ditunggu. Toleransi, tak hanya sebatas kata-kata dalam buku pelajaran PMP (waktu itu). Kami menjalankan toleransi dengan begitu baiknya.

Sekarang, keadaan menjadi sedikit rancu. Ada berbagai macam isu yang dibuat untuk memperkeruh suasana. Pemahaman keagamaan menjalar menjadi sesuatu yang meragukan buat saya. Ada begitu banyak pendapat yang mulai berani mengharamkan dan mengkafirkan saudaranya sendiri yang mungkin belum paham atau memiliki penafsiran berbeda. Perdebatan demi perdebatan mulai terjadi dengan sesama umat.

Begitu pun saya. Yang berteman dengan berbagai macam agama. Yang tidak membawa-bawa agama dalam konteks pertemanan. Yang memang mengerti bahwa perbedaan ini tak akan bisa disatukan. Maka, ketika seorang teman berselisih mengenai hal ini, saya hanya mengembalikannya lagi pada "Lakum dinukum waliyadin", Untukmu agamamu dan untukku agamaku. Tuhan sudah begitu indah menuliskan kalamNya tentang perbedaan ini. Lalu, mengapa saya si fakir ini sok mencari satu garis lurus persamaan? Saya dan teman-teman non Muslim saya memang berbeda, tak bisa disatukan. Kami menempuh jalan yang berbeda untuk mencintai Tuhan. Lalu, ketika toleransi itu ingin saya tegaskan lagi dalam lingkaran kehidupan saya, apakah itu salah?

Teringat perjalanan ke Danau Toba beberapa waktu lalu. Bersama para BVKers (sebutan untuk para karyawan tempat saya bekerja a.k.a teman-teman satu kantor) selama 2 hari 1 malam pergi ke Danau Toba, Parapat. Perjalanan dilanjutkan ke Pangururan, Samosir dan beristirahat di rumah saudara David. Kami bermalam disana. Makan, tidur dan sholat, untuk kemudian kembali ke penginapan di Parapat. Dan seperti David, saudaranya juga Nasrani. Ketika waktu Subuh tiba, kami sholat berjamaah diruangan yang ada salib dan gambar Yesusnya. Dan tuan rumah, saudara David yang Nasrani menyediakan sebuah alas yang bersih sebagai sajadah. Tentang kesucian tempat, hanya kepada Allah kami percayakan. Tapi toleransi dan apresiasi yang tercipta pada saat itu, benar-benar indah. Begitupun ketika perjalanan pulang kembali ke Medan, ketika waktu Ashar dan Maghrib tiba, teman-teman yang Nasrani tidak keberatan untuk menghentikan mobil di masjid, agar kami yang Muslim bisa beribadah tepat pada waktunya.

Kami memiliki satu persamaan yang jelas, bahwa kami mencintai damai. Kami mampu hidup berdampingan dengan segala perbedaan ini. Kami mampu bergandengan tangan dikala senang dan susah mendera. Lalu akidah, adalah urusan masing-masing kami dengan Tuhan. Jika Tuhan pun sudah menegaskan itu pada ayat demi ayat Surah Al Kafiruun, semoga Allah Sang Maha Rahim pun mengerti apapun yang saya lakukan dengan segala toleransi  ini.

Maka, ketika Natal ini sebagian teman-teman saya merayakannya, saya sebagai seorang kawan pun harus mampu berucap, "Selamat Natal, Kawan" dengan senyum. Jika ada yang tak berkenan, semoga kita tak dipisahkan karena tidak sepakat dengan hal ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline