Lihat ke Halaman Asli

BELAJAR DALAM REKREASI

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Belajar tidak harus didapat dari buku. Menimba pengetahuan juga tidak selalu mesti berada dalam kelas bersama puluhan teman dan dibimbing seorang guru. Semua orang sebenarnya bisa mendapatkan ilmu pengetahuan darimana saja di luar kelas  (sekolah atau institusi pendidikan) formal.  Apalagi kalau disadari benar bahwa sesungguhnya 'materi'  pelajaran bisa kita temui di berbagai tempat dan waktu. Orang tua juga (harus)  bisa membuat acara keluarga menjadi arena belajar yang menyenangkan bagi semua anggotanya dalam bentuk kegiatan  rekreasi.

Banyak dari kita memisahkan kegiatan belajar dengan aktivitas rekreasi. Rekreasi selalu didefinisikan sebagai kegiatan bersenang-senang, hura-hura, acara 'mojok' dengan pasangan atau kumpul-kumpul teman tanpa perlu berpikir yang memberatkan. Sementara belajar diarahkan untuk berada dalam suatu ruangan, serius, berat, menghafal dan penuh dengan alat peraga yang mendukung acara belajar itu sendiri. Padahal, belajar yang serius juga bisa dengan cara yang menyenangkan. Alat peraga di luar ruangan juga sangat sangat banyak, bahkan bisa lebih dari yang ada didalam kelas dan buku. Kehidupan dan ekosistemnya dalam alam sangat beragam dan melimpah untuk diketahui dan pelajari. Bukankah para ahli menuliskan catatan pengetahuannya bermula dari alam untuk dirangkai menjadi suatu ilmu yang selanjutnya di tulis dalam bentuk buku yang umumnya kita pelajari di sekolah?? Walau tidak dimaksudkan untuk menjadi peneliti atau ilmuwan, namun belajar pengetahuan di luar kelas bisa sangat efektif karena yang diingat adalah kesan dan pengalaman. Bukan menghafal yang sewaktu-waktu bisa terlupakan bila 'memori' kita sangat penuh dengan rincian teori menghadapi ujian.

Pengalaman saya waktu belajar di universitas  (kebetulan mendalami agronomi), hampir separuh praktek dilakukan di luar ruangan kelas. Memang sih, agronomi tak jauh-jauh dari kegiatan bercocok tanam, mana mungkin (praktek) di dalam ruangan? Yang saya maksud tentu saja, kami selalu belajar praktek sambil bersenang-senang alias rekreasi. Misalnya belajar tentang budidaya tanaman coklat. Maka selain teori yang diberikan dosen di kelas, kami membuat 'acara sendiri'  sesama teman (kadang didampingi dosen dan asisten dosen juga) satu jurusan untuk bertandang ke salah satu PTP (perusahaan perkebunan, tidak perlu disebut namanya) untuk melihat bentuk tanaman,  sistem penanaman dan bagaimana coklat diolah, diproses dari buahnya sejak dipetik hingga menjadi suatu produk setengah jadi yang diekspor (catatan: kita selalu mengekspor bahan baku dengan harga murah tetapi kemudian mengimpornya setelah menjadi barang jadi yang harganya jauh lebih mahal) ke luar negeri. Meskipun acara tersebut dilakukan dalam suasana rekreasi dan banyak canda, baik diperjalanan maupun di TKP, tapi semua peserta menyimak dengan serius. Apalagi ketika masuk dalam PTP (siapa yang berani tidak serius berhadapan dengan pegawai disini yang notabene etos kerja dan sistem didalamnya warisan kolonial Belanda yang serba disiplin dan serius?) Bahkan adakalanya diharuskan membuat laporan dan catatan. Siapa tahu ada dosen yang sudi menambah nilai dan, syukur-syukur, yang dipelajari keluar di soal ujian.

Demikian juga waktu mengikuti praktek Geodesi dalam matakuliah dasar untuk jurusan Ilmu Tanah. Sudah pasti harus ke luar ruangan. Tapi yang menarik, praktek matakuliah tersebut sengaja dipaketkan dengan acara rekreasi di suatu tempat yang (memang harus) mempunyai kemiringan tanah di lahan tinggi yang (kebetulan justru) obyek wisata menarik berhawa dingin. Padahal, saya pernah melihat praktek mata kuliah ini menggunakan suatu alat yang sama dengan kami dulu,  mahasiswa teknik sipil di suatu PTN, hanya berkutat di sekitar kampus saja.

Adalagi praktek untuk mempelajari tanaman yang sudah langka. Kami dulu, semua jurusan dan semua angkatan boleh ikut, membuat paket liburan sekaligus rekreasi namun tetap belajar yang menyenangkan dalam suatu wadah 'Pecinta Alam' menuju Taman Nasional Baluran. Ternyata belajar kami tidak hanya menemukan beberapa tanaman langka, tetapi juga hewan langka seperti  ayam hutan berekor panjang yang bertengger di pohon tinggi (mungkin salah satu jenis tetua ayam bekisar yang banyak diternakkan sekarang), burung merak langsung di habitatnya. Juga serombongan babi hutan, sekumpulan rusa, Banteng, kerbau (yang waktu itu populasinya berlebih sehingga mengancam jumlah populasi banteng karena berebut padang rumput. Beberapa petugas menangkapi beberapa kerbau untuk dipakai sebagai bantuan pemerintah untuk petani), berjenis-jenis  ikan dan air jernih di pantai Bama (kurang lebih 15 km dari pintu masuk resort Bekol) hingga apapun, termasuk aneka karang yang indah  bisa terlihat dari permukaan tanpa harus masuk ke dalam air. Juga melihat kejadian langka: Harimau Jawa Belang melintas tepat didepan mata. Untungnya, Baluran waktu itu (tahun 80-an) penuh dengan satwa liar yang cukup untuk makanan sang macan. Jadi biarpun kaki terpaku tak bisa bergerak dan mulut terkunci serta wajah pias melihat si raja hutan,  kami (berlima, saat itu magrib dan tertinggal oleh teman lain karena mobil yang kami tumpangi bannya pecah dan terpaksa diturunkan, ditinggal di tengah jalan untuk menambal ban) hanya 'dibelakangi' kucing besar itu ketika menyeberang tepat di muka kami. Sang raja sudah kenyang, tidak menyerang manusia seperti cerita para transmigran di Sumatra yang banyak terjadi beberapa dekade lalu.

Pengalaman dibeberapa tempat tersebut, kelak, saya napak tilas (ulangi) lagi dengan kesadaran penuh untuk belajar tentang apa saja. Tapi karena menyangkut kehidupan, pasti yang terpikirkan adalah manusia dengan tanaman, lingkungan dan pelestarian alam. Tentu saja dalam suasana rekreasi. Bersama anak dan suami, untuk membagi pengalaman yang sangat berkesan dulu bagi saya kepada mereka. Memang, setelah berlangsung sekian puluh tahun kemudian, ada banyak hal berubah. Terutama taman nasional Baluran. Hutan jatinya banyak meranggas dan tidak rapat (bahkan di pinggir jalan beberapa area ada yang ditanami dengan tanaman semusim) sehingga daun antar tanaman jati sisi kanan kiri jalan tidak lagi overlapping dan teduh seperti dulu. Pantai Bama-nya tidak secantik puluhan tahun lalu. Monyet-monyet di pantai ini bahkan populasinya padat dan terkesan kurang makan (padahal, ini hutan lindung lo!). Saya bahkan perlu menginap, karena area hutan yang luas terlalu lelah jika harus didatangi sekian jam dalam satu hari. Padahal yang akan dilihat obyeknya banyak. Terutama pantai Bama, harus dikunjungi pagi hari karena jarak untuk balik ke luar taman nasional jauh dan riskan jika keburu gelap di tengah perjalanan. Mungkin tidak bertemu harimau lagi seperti dulu (konon sudah tidak ada lagi belakangan ini, selain karena jumlah populasi harimau Jawa terus merosot tajam, mereka masuk kedalam pelosok pegunungan yang lebih jauh. Karena terus diburu, beberapa sumber mengatakan bahwa macan disana memang jadi sasaran untuk berlatih menembak. Ada juga yang mengatakan beberapa ekor lainnya masih tersisa di hutan Meru Betiri,  dataran tinggi antara Banyuwangi-Jember) semasa saya remaja. Tapi ular berbisa mungkin saja masih banyak berkeliaran. Di Baluran memang ada tempat menginap didalam hutan, berupa pondok yang ruangannya terdapat aula besar untuk para mahasiswa yang biasanya datang dalam bentuk rombongan. Juga ada pondok dengan dua kamar tidur  dan kamar mandi tersendiri dalam satu rumah, biasanya diperuntukkan untuk para peneliti. Uniknya, kami benar-benar belajar alam yang riil dari sumbernya. Mendengar suara binatang apa saja di malam hari, yang tidak mungkin ditemukan di kota tempat tinggal sekarang. Anak saya waktu itu berumur 5  (sekarang 15) tahun  dan suami, biarpun tidak  termasuk 'orang kota' tapi berada dan menginap di hutan sungguh membuat mereka sangat gembira dan antusias. Tidak sama dengan masuk tempat rekreasi ataupun kebun binatang, meskipun situasi tempat sudah mirip obyek wisata tersebut. Untuk bisa masuk tempat itu saja kami juga harus ijin petugas disana. Setelah itu, di kantornya,  kami juga bisa melihat slide tentang Taman nasional Baluran beserta jenis-jenis binatang yang ada di dalamnya. Memang suasananya lebih mirip 'arena' belajar daripada bersenang-senang. Tapi tentu saja lebih santai.

Saya melihat sistem belajar di sekolah sekarang lebih mirip tumpukan tugas daripada menumbuhkan suasana untuk senang mempelajari ilmu. Guru yang mengajar seolah hanya membuat target selesai memberikan pelajaran, tanpa pernah melihat lebih jauh apakah anak didiknya mengerti dan menguasai pelajaran yang diberikan. Pantas saja, setiap ujian atau tes semesteran, para pelajar lebih sibuk bikin contekan atau berburu bocoran soal hanya untuk mengejar nilai. Apalagi untuk Ujian Nasioanal. Macam-macam tingkah lakunya. Ada yang ke dukun. Sembahyang massal. Mencium kaki ibu beramai-ramai sambil menampakkan betapa berdosanya mereka sebagai anak, dan berharap sang ibu memberi doa agar mereka bisa lulus ujian nasional (UNAS). Kapan belajarnya? Atau, sudahkah mereka betul-betul menyiapkan materi pelajaran dengan sungguh-sungguh untuk menghadapi soal-soal ujian??

Ilmu sangat penting demi kemajuan suatu bangsa. Tapi ilmu yang hanya dihafalkan dan tidak disertai mental baja untuk disiplin baik belajar maupun mendapatkan hal lain sangat membahayakan jika sudah menjadi karakter. Apalagi  jika hanya ditargetkan untuk mendapatkan nilai. Karena semua itu palsu. Jika anak didik hanya dicekoki ilmu kosong alias 'pintar' hanya di kertas ujian atau rapor/ijazah, dan para pendidik hanya sibuk 'berbisnis' uang seragam dan uang gedung masuk sekolah, apalagi yang diharapkan dari sebuah sarana pendidikan? Jika kertas, berbentuk rapor dan ijazah, begitu penting sebagai bukti riil menuntut ilmu sedangkan nilai di dalamnya sebenarnya 'kosong' karena didapat dengan contekan dan sejenisnya (apalagi jika rapor dan ijasahnya juga palsu yang banyak beredar belakangan ini terkait adanya sarana pendidikan abal-abal), seperti apa kelak manusia Indonesia yang akan memimpin negara sepuluh tahun mendatang? Sekarang saja untuk jadi pejabat prosesnya sudah penuh rekayasa. Jadi pemimpin/pejabat penuh korupsi. Kemana nanti orang Indonesia yang betul-betul pintar dan punya idealisme, haruskah melunturkan nasionalisme dan pindah ke luar negeri??

Tak ada salahnya membenahi hal mendasar di kehidupan keseharian keluarga. Kita mulai saja dengan mental yang benar. Belajar dengan cara yang baik dan benar. Salah satunya, dengan memanfatkan sebanyak mungkin waktu untuk menyerap pengetahuan darimanapun dan kapanpun. Termasuk pada saat rekreasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline