MINGGU, 26 MARET 2023
MEWUJUDKAN IMAN YANG OTENTIK
Oleh Pdt Em.Weinata Sairin,MTh
"Mendengar itu meluaplah kemarahan mereka, lalu mereka berteriak-teriak, 'Besarlah Artemis dewi orang Efesus!'"
( Kisah Para Rasul 19:28/ TB 2, 2023)
Berdasarkan pengalaman sejarah, keterkaitan antara agama (penyebaran agama) dan aspek ekonomi adalah sesuatu yang tidak
bisa terbantahkan. Dalam bingkai besar di zaman baheula, kita mengenal jargon "Gold, Glory, Gospel" yang diciptakan kaum kolonial
Barat dalam menguasai bangsa-bangsa. Dalam spirit itulah, pada masa yang lalu, Portugis dan Belanda menguasai nusantara selama ratusan tahun: ada semangat bisnis yang menyatu dengan semangat misioner di dalamnya.
Salah satu teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah teori yang menyatakan bahwa pada abad ke7, para saudagar Islam dari Arab, Persia, dan Gujarat membawa Islam masuk ke Indonesia. Hamka, penulis terkenal dan tokoh Islam Indonesia, dalam bukunya menyatakan, Islam datang secara berangsur-angsur dan peranan para saudagar dalam penyebaran agama sangatlah penting. Sambil melakukan transaksi dan aktivitas ekonomi, para saudagar menjalankan syi'ar agama disuatu wilayah sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik agama yang dibawa oleh para saudagar itu.
Dulu agama-agama diperkenalkan kepada masyarakat me lalui berbagai karya sosial, antara lain bidang pendidikan, kesehatan. Sejarah dengan tegas mencatat peran yang dilakukan para penginjil dalam mendidik banyak orang di suatu wilayah yang terisolasi, sehingga mereka dapat membaca dan menulis. Orang-orang yang tadinya buta huruf, tidak mengenal estetika, pada akhirnya bisa membaca, terdidik, dan mengenal cara-cara hidup yang sehat. Pada titik itu terjadi transfer peradaban dan transformasi kehidupan sosial. Peradaban Barat yang telah lebih maju ditularkan dan dialihkan kepada komunitas yang masih hidup di zaman batu, sehingga terjadilah proses "pemanusiaan manusia" melalui aktivitas pekabaran Injil di suatu wilayah.
Dalam konteks tertentu, peran para penginjil (Barat) pada zaman baheula sangat positif. Melalui aktivitasnya, mereka telah melahirkan banyak Gereja di Indonesia, utamanya Gereja-gereja yang lahir sekitar tahun '30--'40an, yang kemudian mendirikan DGI/PGI.
Titik singgung antara ekonomi dengan agama dalam kasus-kasus tertentu bisa berada dalam angle yang negatif. Misalnya, ketika persaingan yang murni terjadi sebagai persaingan ekonomi "diberi bumbu agama", di ruang publik peristiwa itu diberi label sebagai "konflik SARA" yang tingkat kegaduhan dan ujungnya sudah bisa kita tebak.
Kasus yang diangkat dalam Kisah Para Rasul 19:21--40, yang dalam perikop LAI diberi judul "Demetrius menimbulkan huruhara di Efesus", menampilkan sebuah episode menarik dalam konteks pertemuan Injil dengan budaya lokal. Menurut penuturan KPR, Demetrius ini memiliki perusahaan yang memasok patung Dewi Artemis dari perak untuk kepentingan rakyat dalam aktivitas ritual mereka. Perusahaannya itu mendapatkan untung besar sebagai pemasok utama di kota itu (19:24, 25). Kedatangan Paulus dan timnya yang mengabarkan Injil akan mengubah pandangan teologi rakyat di situ. Mereka akan tidak lagi percaya kepada Dewi Artemis dan hal itu akan membuat bangkrut perusahaan Demetrius. Itulah inti persoalannya. Ini persoalan ekonomi; lebih teknisnya, persoalan asap dapur, dan bukan persoalan teologi.
Lalu, dalam kepanikannya, Demetrius memprovokasi para tukang yang selama ini membuat patung perak itu sehingga mereka bergerak dan mengganggu ketertiban umum pada masa itu. Seluruh kota kacau akibat perbuatan Demetrius dan para costumernya (19:29). Untunglah ada sekretaris kota yang bijaksana, yang mengingatkan kelompok pendemo itu agar tenang dan tidak terburuburu bertindak, bahkan menyarankan untuk menempuh prosedur hukum (19:35--40).