Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Membangun Sikap Percaya

Diperbarui: 12 Februari 2023   06:59

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gereja | Sumber: christianitytoday.com

 : MINGGU 12 FEBRUARI 2023

MEMBANGUN SIKAP PERCAYA

Oleh Weinata Sairin

"Yang pada akhirnya
 dituntut dari pelayan-pelayan yang demikian
ialah bahwa mereka ternyata dapat dipercayai."
---1 Korintus 4:2

Dalam dunia seperti yang kita hidupi sekarang ini, "dipercayai" dan/atau mendapat kepercayaan dari orang lain adalah suatu privilese. Bahkan, kondisi seperti itu kadangkadang bisa melahirkan rasa bangga bagi seseorang. Bukankah bisa menimbulkan rasa bangga jika seseorang disebut "orang kepercayaan Gubernur", "orang kepercayaan Capres", "orang kepercayaan Pimpinan BUMN", bahkan orang kepercayaan siapa pun. Orang kepercayaan itu adalah orang yang memiliki relasi yang dekat dengan tokoh yang memberi kepercayaan itu.

Dalam beberapa tahun terakhir memang terjadi krisis kepercayaan dalam kehidupan kita. Ketidakpercayaan orangtua kepada anak dan juga sebaliknya; ketidakpercayaan antara anak buah dan bos; ketidakpercayaan antara yang dipimpin dan pemimpin; ketidakpercayaan antara rakyat terhadap pemerintah; yang paling kuat dan santer adalah ketidakpercayaan sebagian orang terhadap presiden kita sendiri.

Dalam relasi antarmanusia, baik dalam konteks pribadi maupun organisasi, memang peran kepercayaan, trust, itu amat penting. Bayangkan, apa yang terjadi di dalam rumah tangga jika suami dan istri hidup saling tidak percaya. Setiap hari pasti ada suarasuara menggelegar di dalam rumah tangga baik karena sikap, tindakan, maupun katakata y ang selalu dipersepsi negatif oleh salah satu pihak.

Secara teoretis, orang yang keimanannya kuat, yang beragama secara tekun dan konsisten, adalah orang yang bisa dipercaya, kredibel, bisa memegang rahasia, dan bukan 'ember'; apalagi pengadu domba. Akan tetapi, dalam kenyataannya, terkadang keberagamaan itu tidak mewujud nyata dalam tingkah laku, kepribadian, dan karakter seseorang. Agama belum menyatu raga dengan kediriannya. Agama belum menjadi roh kehidupan manusia. Agama belum menyatu tubuh dengan diri manusia.

Agama masih dicangkok dalam tubuh manusia. Voltaire, orang yang dikenal ateis, suatu saat menyaksikan matahari terbit dengan ditemani seorang sahabatnya. Pada saat matahari terbit memekar dikelilingi awan yang cerah, terjadilah pemandangan indah sehingga Voltaire berseru: "Oh, Tuhan, aku memujiMu!" Sahabat Voltaire terkejut atas seruan itu. Keberagamaan kita memang harus selalu dimunculkan dalam berbagai aspek kehidupan kita karena agama berada secara permanen dalam diri kita. Ayat Alkitab yang dikutip di bagian awal tulisan ini menjadi sangat penting untuk kita garis bawahi dalam konteks kekinian
kita.

Paulus menegaskan agar umat memahami dirinya dan kawankawannya sebagai "hambahamba Kristus, yang kepadanya dipercayakan rahasia Allah". Penegasan itu penting untuk memahami siapa sebenarnya mereka dan apa fungsi mereka. Mereka bukan sosok sembarangan, mereka dipercayakan rahasia Allah. 

Status Paulus dan kawankawannya serta "tupoksi"nya clear dan amat berat (4:1). Dalam konteks itu, mereka dituntut untuk tetap menampilkan sosok yang kredibel dan dapat dipercaya (4:2). Paulus mengajak umat untuk mengembangkan sikap positive thinking kepada mereka yang menjalankan tugas berat itu, sebab pada saatnya Tuhanlah yang akan menghakimi (4:4,5).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline