Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Mewaspadai Kematian

Diperbarui: 20 Mei 2022   06:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

TPU | sumber: beritajakarta.id

MEWASPADAI KEMATIAN

Oleh Weinata Sairin

"Vive memor leti. Hiduplah dengan selalu waspada akan kematian."

Diksi yang maha penting dalam dunia manusia adalah "hidup" dan "mati". Kedua kata itu seakan dua tonggak yang menghunjam dalam di pelataran sejarah manusia, dan di antara kedua tonggak itulah manusia mengukir karya terbaiknya dengan optimal walau terengah-engah  dan penuh peluh. 

Durasi atau jarak perjalanan dari tonggak H ke tonggak M itu amat relatif dan tak ada rumus baku tentang itu yang mampu dibuat manusia. Durasi itu tidak terukur atau terstandar, tidak karena prestasi, amal, kebajikan, suku, agama, ras, antargolongan, afiliasi politik, strata sosial dan/atau apa pun, tingkat pendidikan, gelar PhD  atau Dr HC.Umat beragama memahami bahwa durasi kehidupan manusia itu menjadi ranah Sang Maha Pencipta, domainnya Tuhan Yang Maha Esa.

Hal itu menjadi hak prerogatif Kuasa Transendental.
Dengan memahami dan menyadari dengan baik bahwa durasi hidup manusia berada dalam ranah Sang Maha Pencipta dan tidak berada dalam kompetensi manusia, manusia seharusnya hidup dalam ketaatan yang penuh kepada Kuasa Transenden, Sang Maha Pencipta. 

Manusia harus makin memahami kediriannya, bahwa ia manusia fana dan terbatas, manusia yang digelimangi berbagai kelemahan, manusia yang amat rapuh,  dan fragile dalam hal-hal tertentu; manusia yang tak mampu mewujudkan karakter khalifah Allah dan imago Dei. 

Realitas manusia yang lemah, rapuh dan fragile, terlepas dari kemampuan intelektual serta harta kekayaan yang mereka miliki, membutuhkan adanya "nilai-nilai unggulan" dalam kedirian manusia. Dalam diri manusia harus ada nilai-nilai Kasih, Sukacita, Damai Sejahtera, Kebajikan, Kesabaran, Kemurahan, Kebaikan, Kesetiaan, Kelemahlembutan, dan Penguasaan diri.

Dalam menapaki perjalanan dari tonggak H menuju tonggak M itu manusia menabur kebajikan, beramal saleh, melakukan diakonia, hal-hal yang positif demi kemaslahatan orang banyak. 

Nilai- nilai unggul sebagaimana disebutkan di atas harus benar-benar menjadi habitus umat sehingga melaluinya kedirian manusia mampu menjadi teladan dan bisa menjadi "investasi" untuk memasuki tonggak M. Persoalannya adalah manusia hidup dalam sebuah komunitas dan berinteraksi dengan banyak orang dengan  beragam karakter. 

Butir- butir nilai keunggulan itu (bahkan bisa lebih) memang tidak terlalu mudah untuk diimplementasikan, apalagi dalam sebuah masyarakat yang makin "sangar" dan kasar, yang melahirkan berbagai kekerasan, kriminalitas.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline