GEREJA,PANCASILA DI TENGAH DUNIA YANG TERUS BERUBAH
Oleh Weinata Sairin
Catatan.Awal
Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia secara teologis memahami bahwa bangsa dan negara Indonesia yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan meliputi seluruh wilayah dari Sabang sampai Merauke adalah pekerjaan Allah dan sebab itu tanah air Indonesia adalah karunia Allah. Pemahaman teologis seperti itu secara formal dirumuskan dalam Sidang Raya PGI 1994 di Jayapura, namun nuansa pemikiran itu sudah lama tertanam dalam hati sanubari warga gereja di Indonesia.
Dr. Johanes Leimena di depan peserta Sidang Raya DGI 1956 mengatakan hal senada. "Dan pada hakekatnya negara Indonesia menurut paham saya adalah suatu karunia Allah, suatu negara yang dikaruniakan Allah kepada bangsa Indonesia, maka oleh karena itu negara ini mempunyai tempat, suatu fungsi dan satu tujuan yang tertentu di dalam dunia ini," kata Leimena.
Berdasarkan pemahaman bahwa bangsa dan negara Indonesia adalah karunia Allah, maka Leimena dalam ceramah tahun 1956 itu menyatakan bahwa "negara nasional Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh adalah suatu negara yang berbentuk republik kesatuan; suatu negara hukum yang demokratis, suatu negara yang tidak didasarkan atas salah satu agama, tetapi negara yang berdasarkan Pancasila".
Tanggapan Umat Kristen
Sejak awal negeri ini dibangun, Gereja-gereja dan umat Kristen Indonesia memahami bahwa Pancasila adalah dasar negara yang mampu mengakomodasi kemajemukan. Berdasarkan hal itu, bagi Gereja dan umat Kristen, Pancasila adalah pilihan yang tepat untuk dijadikan dasar negara.
Konferensi Nasional Gereja dan Masyarakat di Salatiga 1967 menegaskan bahwa "Pancasila sebagai dasar negara telah memungkinkan hidup bersama atas hak dan kewajiban yang sama dari golongan-golongan dengan agama dan budaya yang berbeda dalam negara Indonesia. Pancasila adalah dasar hidup bersama dalam suatu negara; sebab itu setiap usaha untuk mengubah, mengganti atau menggerogoti Pancasila secara terang-terangan atau tersembunyi selalu melahirkan malapetaka bagi bangsa."
Rumusan 1967 itu dielaborasi dalam Konferensi Gereja dan Masyarakat (KGM) di Klender Jakarta pada 1976 yang bertema: Melihat tanda-tanda zaman, pergumulan Pancasila dalam membangun masa depan." Dalam KGM 1976 itu dinyatakan bahwa Pancasila telah dan akan terus memainkan peranan dalam kehidupan bangsa dan negara, sebagai alat pemersatu yang bisa mencakup dan menyalurkan kepelbagaian cita-cita dan pembangunan bangsa sebagai pegangan untuk mempertahankan identitas bangsa serta menggugah semangat serta kesetiaan kepada tanah air.
Sikap kritis dari KGM 1976 terhadap Pancasila juga tak bisa diabaikan yaitu, bahwa penjabaran teoritis Pancasila justru bisa membawa Pancasila pada posisi sebagai saingan iman Kristen. Bisa timbul bahaya bahwa Pancasila bisa disakralkan dan bahkan menjadi satu sistem falsafah yang berpretensi menjawab soal-soal terakhir dari kemanusiaan yang sebenarnya menjadi kompetensi agama. Itulah sebabnya KGM 1976 memberikan penekanan pada aspek "pengamalan Pancasila", bukan pada aspek-aspek teoritis yang cenderung doktriner, kaku dan dogmatis yang bisa bermuara pada peng-agama-an Pancasila itu sendiri.
Sayang sekali, pengamalan Pancasila, pada zaman Orde Baru mengalami kemunduran yang luar biasa. Pancasila telah dijadikan suatu ideologi yang otoriter yang melanggengkan daya cengkeraman kekuasaan Orde Baru. Pancasila menjadi senjata ampuh untuk membungkam pemikiran kritis; Pancasila dijadikan tameng untuk memasung demokrasi, Pancasila menjadi amat teoritis, dan pada aras praktis justru terjadi pertentangan yang diametral dengan Pancasila.
Sakralisasi Pancasila berjalan seiring dengan peningkatan hegemoni kekuasaan Orde Baru yang otoriter, sentralistik dan represif. Pancasila melalui UU No.8/1985 bahkan telah ditetapkan sebagai satu-satunya asas bagi lembaga-lembaga keagamaan di Indonesia; sebuah ketetapan yang mendapat perlawanan keras dari lembaga-lembaga agama. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) sesudah diskusi yang amat alot dengan pemerintah, baru tahun 1989 secara kritis dan kreatif menyesuaikan Tata Dasarnya dengan UU No.8/1985.
Pancasila Sebagai Landasan
Sebab itu, kini banyak orang yang agak takut membicarakan Pancasila, bahkan ada kecenderungan untuk mengganti Pancasila karena dianggap gagal sebagai alat pemersatu bangsa. Gereja-gereja meyakini bahwa sampai saat ini belum ada dasar lain, selain Pancasila, yang berfungsi sebagai perekat dan pemersatu bagi pluralisitas etnik , budaya dan agama dalam sebuah masyarakat majemuk seperti Indonesia. Pancasila adalah satu-satunya fundamen kukuh yang di atasnya rumah besar Indonesia yang kaya dan plural, dibangun dan didirikan.