Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Memahami Kesiapan Seseorang

Diperbarui: 27 Mei 2021   18:07

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

www.freepik.com

"Difficulties are things that show a person what they are". (Epictetus)

Ada banyak cara yang digunakan orang untuk mencoba "mengukur" kehebatan individu. Beragam standar dan kriteria ditetapkan. Ada yang melihat dari aspek genetik, asal usul, atau keturunan. Bagaimana bobot, bebet dan bibitnya? Ia asli atau keturunan? Ada yang melihat dari aspek pendidikan, apakah ijazah terakhir yang ia miliki? Apakah ia menempuh pendidikan di dalam atau di luar negeri. Ada juga yang mengukur dari aspek kekayaan dan jabatan. Berapa aset yang dimiliki? Apakah jabatan yang diembannya?

Memang tidak ada  format baku atau standar dalam rangka mengukur "kekuatan" atau "kehebatan" seseorang. Hal itu amat bergantung pada lingkup apa "pengukuran" itu dilakukan. Ukuran yang ditetapkan oleh sebuah dusun tentu berbeda dengan standar yang ditetapkan oleh sebuah komunitas kota.

Sebagai umat beragama, kita amat memahami bahwa kekuatan seseorang tak pernah mengacu pada faktor-faktor luar sebagaimana yang biasa digunakan banyak orang. Seseorang dianggap memiliki "status" tertentu apabila tingkat spiritualitasnya benar-benar andal. Keberagamaannya mantap dan konsisten bisa diverifikasi dalam kenyataan praktis.

Ia bukan saja hafal isi kitab suci bahwa seseorang itu harus jujur, tidak korupsi, suap, tidak menyuap, menerima suap, tidak diperhamba roh nepotisme, tetapi ia juga mempraktikkan hal itu secara nyata dan konsisten dalam seluruh kehidupannya. Ia bukan hanya hafal dan fasih melafalkan ayat-ayat kitab suci tentang bagaimana mengasihi dan berempati terhadap sesama tanpa membeda-bedakan, tetapi ia mewujudkan hal itu dalam kehidupannya. Masih cukup banyak orang-orang seperti itu yang bisa kita temui dalam kehidupan nyata.

Dalam perspektif umat beragama, orang-orang seperti itu dianggap memiliki status khusus. Jadi, ukurannya bukan pada asal-usul genetik, status sosial, pendidikan, jabatan, dan sebagainya. Memang tidaklah mudah menjadi orang yang mengetahui perintah agama dan sekaligus memberlakukannya. Itu semua terjadi hanya karena kekuatan dan hikmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Cukup menarik ungkapan Epictetus yang dikutip di awal bagian ini. Kita mesti menunjukkan kesiapaan kita tatkala kita dihadapkan dengan beragam persoalan. Mari perlihatkan kesiapaan kita sebagai umat yang beragama dengan tetap tegar dan teguh beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Kesiapaan seseorang, identitas seseorang bisa saja dilihat dari berbagai aspek. Misalnya apa hobbynya, buku apa dan pengarang yang mana yang ia sukai, genre musik mana yang ia sukai, bagaimana respons yang bersangkutan terhadap sebuah isu, dan sebagainya.

Ada orang bijak yang berpendapat bahwa untuk mengetahui kepribadian seseorang itu kita berikan jabatan/kekuasaan kepadanya. Apakah ia tetap bersih, tidak berKKN, tidak bersikap mumpungisme?

Sebagai manusia religius kita terpanggil untuk mewujudkan sikap baik, standar, normatif sesuai dengan ajaran agama sehingga kehadiran kita memiliki makna bagi kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline