"Sua cuique sunt vitia. Setiap orang memiliki kekurangannya masing-masing"
Walaupun manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia, tetapi manusia bukanlah makhluk sempurna. Manusia adalah sosok yang memiliki keterbatasan. Dalam Alkitab diceritakan cukup detail bagaimana titik pangkal peristiwa yang mencerminkan kelemahan manusia di awal sejarah.
Manusia pertama dalam sejarah, yang saat itu ditempatkan dalam taman Eden dan diberi pesan oleh Allah, "Semua pohon dalam taman ini boleh kau makan dengan buahnya dengan bebas, tetapi pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat itu, janganlah kau makan buahnya, sebab pada hari engkau memakannya, pastilah engkau mati, (Kejadian 2:16, b,17).
Namun akibat rayuan iblis yang direpresentasikan melalui seekor ular, Hawa --sang perempuan, melalui dialog panjang dengan ular, akhirnya memakan buah itu kemudian memberikannya juga kepada Adam. Itulah wujud awal sisi lemah manusia, yakni sikap yang tidak taat kepada pesan Allah, sikap tunduk kepada rayuan iblis, yang muaranya secara substantif dan signifikan mengubah masa depan manusia.
Titik lemah manusia selalu ada, hadir dan terulang di sepanjang jelajah dan ziarah manusia dari zaman ke zaman, dan tertoreh dalam sejarah. Perempuan dan lelaki yang hadir mengukir kehidupan di pentas sejarah atas anugerah Allah adalah figur dan sosok yang memiliki kekurangan dan kelemahan, tetapi yang juga sekaligus memiliki kekuatan serta kelebihan tertentu, yang Tuhan anugerahkan.
Kekurangan dan kelebihan yang integral dengan kedirian manusia tidak menafikan dan/atau mereduksi panggilan utama manusia yang telah ditetapkan Allah, yaitu mengelola alam serta segala isinya dengan penuh tanggung jawab. Dalam konteks memenuhi tugas panggilan, manusia memantapkan aspek relasional antar manusia sehingga melalui relasi yang hangat dan solid tugas panggilan itu bisa dijalankan dengan optimal.
Dalam kehidupan praktis, acapkali kita berhadapan dengan orang-orang yang coba menggunakan kekurangan yang ia miliki menjadi semacam dalih untuk menutupi ketidakberhasilnnya dalam melaksanakan tugas. Sering kita dengar ungkapan permohonan maaf, seperti, "Ya mohon dimaklumi, saya ini manusia biasa..." atau "...saya kan manusia bukan malaikat."
Ungkapan permohonan maaf seperti ini jika terus diulang dan dijadikan senjata dapat menjadi kontra produktif dan tidak membantu seseorang untuk mengembangankan dirinya dan bertindak profesional. Sebagai umat beragama, kita memahami dengan baik bagaimana perspektif agama-agama tentang manusia.
Dalam keberadaannya sebagai manusia, yang lemah dan penuh kekurangan, ia mendapat amanat dari Tuhan untuk mengelola alam yang Tuhan telah ciptakan. Kekurangan manusia yang satu di bidang A akan disempurnakan oleh manusia yang lain di bidang B. Itulah sebabnya kerjasama antar manusia tanpa membedakan SARA amat penting.
Dalam dunia yang tanpa batas, yang dipersatukan oleh IT, kerja sama itu amat terbuka demi lahirnya sebuah peradaban baru. Mari dalam segala kekurangan dan kelebihan kita, kita memberi yang terbaik bagi keluarga,komunitas, lembaga,agama, bangsa dan negara.