Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Memaknai Hari Raya Keagamaan dalam Sebuah NKRI yang Majemuk

Diperbarui: 12 Mei 2021   13:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.surabayarollcake.com/blog/masjid-al-akbar-surabaya-masjid-agung-nasional/

Pertama. Manusia Indonesia adalah manusia beragama. Manusia bumi Nusantara adalah sosok manusia yang kediriannya di napasi oleh roh keagamaan, nilai-nilai spiritualitas.

Tatkala tahun 1970 budayawan Mochtar Lubis merumuskan definisi tentang manusia Indonesia dalam bingkai narasi yang negatif antara lain "munafik", "hipokrit" maka publik banyak yang gusar bahkan menumpahkan kemarahannya di media menggiring kepada sebuah polemik yang nyaris tiada berujung. Mchtar Lubis dan publik taksepenuhnya bisa disalahkan,mereka   berujar dari sebuah titikpandang yang berbeda.

Hal yang wajib dilakukan adalah kita sebagai pribadi bertanya kepada diri sendiri : sejauh mana apa yang dinyatakan oleh Mochtar itu kena mengena atau relevan dengan diri kita. Jika relevan, ada titik singgung ya kita harus berani merubahnya( kata opa oma zaman baheula), harus moved on( kata milenial), harus mengubah dan mentransformasi diri kearah yang labih baik.

Kedua. Kita bersyukur dan bangga sebagai bangsa Indonesia oleh karena Pemerintah  memberi perhatian khusus kepada hari-hari raya keagamaan dengan menetapkannya sebagai hari libur nasional. Policy ini penting bukan saja dalam konteks praksis yaitu umat bisa lebih leluasa merayakan hari besar keagamaan tetapi juga dalam konteks strategis dan politis bahwa Pemerintah memiliki atensi dan political will yang jelas terhadap kehidupan beragama dalam srbuah NKRI yang majemuk yang berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945.

Ketiga. Dimasa depan dalam konteks  hari raya keagaman, hal berikut wajib dijadikan dasar pemikiran oleh Pemerintah :

a. Penetapan hari raya keagamaan dilakukan oleh komunitas/institusi keagamaan.

Penetapan itu tidak bisa diubah oleh pihak manapun dengan alasan apapun. Contoh: Peringatan Hari Kenaikan Yesus ke Surga Tahun 2003, diubah/ dimundurkan tanggalnya dari tanggal 29 Mei 2003 menjadi 30 Mei 2003.  Alasannya agar terjadi long weekend sehingga lebih banyak turis datang. Saat itu turis berkurang karena peristiwa Bom Bali.

Pada saat itu Majelis Pendikan Kristen di Indonesia(MPK) dari Kristen dan Majelis Nasional Pendidikan Katolik( MNPK) dari Katolik yang melayangkan surat ke Mendiknas dan Presiden meminta agar perubahan itu  tidak dilakukan karena hal itu bukan bagian dari kewebangan pemerintah. Figur yang mengelola aktivitas itu adalah Pdt Weinata Sairin( Sekum MPK) dan Bruder Heribertus S( Sekr. MNPK).

b. Nama Hari Raya Keagamaan mesti berbasis dan mengacu kepada pandangan teologi/ ajaran agama yang terkait.

Di lingkup Kristen hari raya agama yang sangat dikenal : Hari Natal, ( Hari Kelahiran Yesus Kristus), Hari Jumat Agung (Wafat Yesus Kristus), Hari Paskah (Hari Kebangkitan Yesus Kristus) Hari Kenaikan Yesus Ke Surga, Hari Pentakosta (Hari Pencurahan Roh Kudus).

https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:BNKP_Tebing_Tinggi_03.jpg

Penetapan hari raya keagamaan dan penamaan hari raya keagamaan adalah ranah, domain,wewenang agama-agama dan bukan ranah Pemerintah atau otoritas apapun. Pemerintah hanya berfungsi memfasilitasi agama-agama agar dapat melaksanakan kegiatannya dengan aman dan lancar.
Ibadah agama jangan sampai dilarang hanya karena rumah ibadah belum dilengkapi IMB. Ibadah agama harus berlangsung aman jangan dibayangi oleh pengalaman traumatik di bom oleh teroris di grebek oleh kelompok intoleran.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline