Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Dibutuhkan Segera Pemimpin yang Melayani

Diperbarui: 28 April 2021   07:46

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

https://www.ateja.co.id/

"The first responsibility of a leader is to define reality. The last is to say thank you. In between the leader is a servant." (Max DePree)

Menjadi pemimpin bukan pekerjaan mudah dan sederhana, baikpada level lokal, regional, nasional, atau internasional. Setiap level punya kerumitannya sendiri. Ada kondisi "kegentingan yang memaksa" dalam bobot yang bervariasi. Ya, selalu ada saja kerumitan. Yang
penting, bagaimana kita menyiasati kerumitan tersebut dab mengelolanya dengan baik agar program dan kehidupan bisa berjalan dengan baik.

Hal sulit bisa saja terjadi tatkala kita menjadi pemimpin dalam sebuah rumah tangga. Pada level keluarga, yang lebih banyak dikedepankan adalah
"perasaan". 

Dalam keluarga tak ada AD/ART, tak ada Tata Kerja atau Tata Kelola, tak ada SOP seperti yang kita temukan pada perusahaan-perusahaan. Hampir semua hal dikelola berdasarkan kultur, konvensi, khotbah/tausyiah yang diberikan pejabat agama pada saat berlangsung acara pernikahan.

Walau demikian, tidak berarti dalam keluarga tidak ada aturan. Kita tidak bisa urakan dan "slebor" seenaknya. Prinsip-prinsip organisasi secara
umum ada dan diterapkan juga di dalam keluarga. Hanya, prinsip-prinsip itu tidak tercatat seperti dokumen-dokumen pada perusahaan.

Hal yang amat penting dibangun dalam keluarga adalah cinta kasih, kepercayaan, dialog, dan sikap "kesalingan dan kekitaan". Tingkat kerumitan
dalam memimpin rumah tangga lebih dielaborasi tatkala ruang bagi keluarga besar (kakek/nenek/paman) diberi tempat. 

Keikutsertaan dan elaborasi keluarga besar dalam kehidupan rumah tangga berpotensi positif, yakni memperkuat basis keluarga di tengah berbagai dinamika dunia yang acap mengancam daya tahan dan keberadaan keluarga.

Dulu pemimpin hampir selalu diberi persepsi "orang yang berada di puncak". Oleh karena itu, ia memerlukan banyak "tangan" untuk mampu
menjangkau dan "mengais" yang di bawah. Akibatnya, seorang pemimpin dikelilingi banyak orang (dengan sekian kepentingan). 

Pemimpin bisa menjadi amat jauh dengan yang dipimpin, baik dari segi jarak maupun ide atau pemikiran. Realitas ini mengakibatkan lahirnya pemimpin elite yang tercabut dari akar sosiologisnya.

Kita semua berharap agar para pemimpin pada level apa pun benar-benar memahami kebutuhan dasar dan mengakomodasi pemikiran orang-orang yang ia pimpin, selain memotivasi mereka menuju masa depan yang lebih baik. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline