Lihat ke Halaman Asli

Weinata Sairin

Teologi dan Aktivis Dialog Kerukunan

Menebar Kata Bermakna di Dunia Nyata

Diperbarui: 23 Desember 2020   21:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. BPMI Setpres, via wartapontianak.pikiran-rakyat.com

"Words can be ireasonable as well as deeds" ~ Baruch Spinoza

Manusia hidup dalam penguasaan "kata". Kata-kata telah menjadikan manusia itu seorang manusia sejati. Pada dasarnya, manusia adalah makhluk yang memiliki tanggung jawab.

Ia bukan figur yang diam, bisu dan abai terhadap berbagai hal yang hadir di sekitarnya. Ia menjawab. Ia merespons. Ia bereaksi cepat dan tepat. Kita sulit untuk percaya terhadap seseorang  yang tidak pernah merespons (pertanyaan) kita sesudah 48 jam tatkala hal yang ditanyakan sudah berubah menjadi persoalan.

Manusia adalah pemilik kata-kata. Dr. Lindert Oranje (alm), dosen Filsafat di  Sekolah Tinggi Teologi Jakarta tahun 60-an, membedah dengan lugas  dan cerdas makna kata dalam perspektif Wittgenstein atau Ayer bahwa kata adalah ekspresi kedirian manusia dan kerancuan kata/ kalimat adalah  cermin kerancuan berpikir manusia.

Sehari-hari manusia diperintah dan dikendalikan oleh "kata". Sebuah kegaduhan nasional atau perpecahan bangsa bisa dimungkinkan terjadi jika seseorang tak piawai  atau salah menggunakan "kata".  Manusia mewujud dalam "kata", manuasia menampilkan diri dalam "kata".  

Vaclac Havel menyatakan pemikirannya tentang  "kata". Ia mengkritik  dengan keras sikap penguasa yang memaksakan "kata" kepada rakyat. Komandoisme, kata Havel, tidak memiliki makna bagi kehidupan suatu negara. Pemaksaaan suatu kata oleh penguasa kepada rakyatnya justru membelenggu dan memperbodoh mereka. Kata memiliki kekuatan tertentu dalam sebauh zaman, apalagi tatkala "kata" menjadi produk dari sebuah rezim.

Kita paham apa makna kata "diamankan", "petrus", "disukabumikan" atau "Kopkamtib" yang menorehkan pengalaman traumatik di zaman-zaman yang telah lalu. Sebagai umat beragama, kita diwarisi kata-kata yang cerdas dan bernas dari kitab suci agama kita yang berisi tuntunan hidup yang baik untuk dunia dan akhirat. 

Mengingat bahwa "kata" selalu memiliki makna yang beragam, maka kata-kata dalam ketentuan peraturan perundang-undangan  dan dokumen resmi mesti clear, tepat, dan tidak menimbulkan  multitafsir. Pepatah  di atas ingin mengingatkan bahwa "kata" seperti juga perbuatan, bisa berkhianat!  Mari menyeru kata sejuk menakjubkan penuh kebijaksanaan.

Dalam konteks pemaknaan kata,menarik untuk dicatat pernyataan Menteri Agama yang baru, yang berucap bahwa ia dalam menjalankan tugas pelayanannya akan menjadikan agama sebagai Inspirasi dan bukan Aspirasi.

Pernyataan ini tidak hanya menampilkan kepiawaian pak Menag dalam menggunakan kata, tapi didalamnya menyentuh sebuah policy keagamaan yang mendasar, yang pada gilirannya bisa ikut memperkuat bangunan NKRI yang majemuk, yang berdasarkan Pancasila.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline