Ilustrasi - Tini Kodrat seusai memperkenalkan tarian di sekolah di Jepang. (Kompas)
Minggu kemarin saya dan suami menghadiri acara Jugyousankan di sekolahnya si sulung dan si bungsu. Jugyosankan adalah acara kunjungan orangtua murid ke sekolah untuk melihat kegiatan belajar-mengajar yang sedang dilakukan di dalam kelas. Orangtua murid akan berdiri di paling belakang dan pinggir kelas untuk hanya mengamati guru yang sedang mengajar dan anak-anak yang sedang belajar. Kegiatan Jugyousankan ini dilakukan sekali dalam setiap semesternya. Jugyousankan biasanya dilakukan pada hari biasa tapi akhir-akhir ini pihak sekolah mempertimbangkan kalau dalam setahun sekali perlu juga kalau acara Jugyousankan dilaksanakan pada hari libur (sabtu), kenapa? dengan tujuan untuk memberi kesempatan kepada para ayah agar bisa menyaksikan kegiatan putra putrinya di dalam kelas. Dan sebagai pengganti hari libur yang dipakai untuk kegiatan belajar itu, maka hari Senin berikutnya pihak sekolah akan meliburkan anak-anak muridnya.
Saya menghadiri acara ini bersama suami, kami bergantian bagi-bagi tugas untuk saling mengunjungi kelas si sulung dan bungsu, walau agak repot ke sana kemari naik-turun tangga, tapi kami merasa ini kesempatan bagus untuk bisa melihat perkembangan belajar si sulung dan si bungsu di dalam kelas.
Jugyousankan Anak Kelas Tiga
Ada yang menarik saat saya masuk ke kelasnya si sulung. Saat itu anak-anak kelas tiga ini sedang belajar matematika. Suasana belajar terasa sangat nyaman, anak-anak memperhatikan papan tulis di mana ibu gurunya yang berpenampilan sangat santai itu, oh ya mengenai penampilan ibu guru Jepang ada yang unik loh, baju atasan mereka terlihat sangat formal, ada yang memakai blazer atau kemeja dan bawahannya rok span atau celana bahan tapi pas lihat sepatunya.... lah mereka kok kebanyakan memakai sepatu olahraga bertali! Biar luwes kali ya ke sana kemari mengajar anak didiknya.
Ya kembali ke leptop, di dalam kelas si sulung ini saya melihat anak-anak yang sedang konsen memperhatikan ibu guru yang sedang menuliskan pertanyaan matematika di papan tulis. Soalnya cukup mudah, hanya tambah-tambahan. Tertulis di papan soalnya 48+29. Anehnya akhir soal tidak ada simbol sama dengan (=) tapi diganti dengan simbol kanji 考(kangaeru=berfikir) di bawah soal. Sang guru mengajak anak-anak muridnya untuk berpikir bagaimana cara yang paling praktis dan paling mudah menurut anak-anak ini untuk bisa mendapatkan hasil dari soal tambahan di atas. Saat itu saya agak gak mudeng, lah emang ada berapa cara sih? Lagian ribet banget cari cara lain, yang gampang kan tambahin aja itu di urut ke bawah misalnya saja:
48
29+
77
Nah tuh, hasilnya cepet, 77!!
Kira-kira 10 menit kami para orangtua menunggu anak-anak ini berpikir, lalu sang guru berkata bagi yang sudah selesai untuk angkat tangan, dan terlihat beberapa murid mulai mengangkat tangannya. Anak-anak yang mengacungkan tangan dihampiri oleh ibu gurunya dan dicek hasil kerja mereka. Setelah semua anak selesai mengerjakan dan dicek oleh ibu gurunya. Tibalah untuk mereka mempresentasikan hasil kerja mereka ke depan kelas. Beberapa anak cepet-cepetan mengangkat tangannya karena ingin dipilih gurunya untuk maju ke depan kelas. Dan akhirnya ditunjuklah seorang anak perempuan berbadan agak besar untuk maju mempresentasikan hasil pemikirannya. Pada layar proyektor terlihat hasil corat-coret pemikiran anak perempuan ini, melihat hasil kerjanya kepala saya tiba-tiba kliyengan karena penjabaran soal yang `cuma` tambah-tambahan doang kok ya jadi panjang karena berubah bentuk jadi soal cerita! Baru setelah selesai semuanya, ia membuat ringkasannya dan teteup saja saya gak ngerti sama sekali, kaget juga lihat hasil akhirnya kok yao bisa 77 gitu loh! Gimana bisa? Lalu ibu guru meminta semua temen-temen dalam kelas untuk menilai, apakah hasil pemikiran yang dijabarkan barusan itu bisa diterima, dan kompak seluruh anak berkata ii desu! (OK!) walaahhh berarti otak saya ini yang oon hahaha....