Lihat ke Halaman Asli

Perlukah Anak Belajar “Prihatin”?

Diperbarui: 17 Juni 2015   21:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pikir perlu, Kenapa? Silahkan para orang tua mencernanya dengan baik, karena memang saat ini saya ini belum berkeluarga dan punya anak, hehe. Lalu kok bisa menuangkan tulisan begini sedangkan statusnya belum punya anak. Ya gampang saja melihat cermin di keluarga sendiri bahkan saya pribadi.

Orang tua pastinya menyayangi anak sampai mati, apapun di korbankan demi bahagia si anak, lantas apakah setelah semuanya terpenuhi untuk si buah hati, dan anak akan mengerti dengan orang tua-nya sendiri? Jawabnya sangat belum tentu.

Banyak tayangan-tayangan televisi yang menginspirasi kesuksesan seseorang yang datang dari keluarga kurang mampu alias miskin, berangkat dari sebuah mimpi dan juga cita-cita menjadi pemain bola, memberangkat orang tua-nya naik haji, dan lainnya. Alangkah bahagianya jika semua hal itu mampu di wujudkan dengan kerja keras dan cerdas. Misalnya bersekolah sembari jualan kue, membantu orang tua beres-beres di rumah, ada anak yang harus angon (melihara) kambing dan sapi sambil mencari rumput-rumput liar untuk di makan peliharaannya. It’s not easy.

Butuh kekuatan mental yang kuat menjadi sosok seperti ini, sosok tangguh dan gak cengeng. Secara alamiah akan menjadi anak yang tidak gampang pula berputus asa, karena sudah terlatih demikian kerasnya di tempa dan di dera.

Tinggal bagaimana konsep “prihatin” di ciptakan, kok repot banget sie harus prihatin-prihatin segala? Ya terserah saya dong, saya yang mau menulis ini. Titik.

Sekali lagi tinggal bagaimana konsep “prihatin” itu di ciptakan, anak jaman sekarang pandai ngeles (ngelak) dan sudah tidak polos lagi, sudah lebih banyak terkena racun duniawi, kabar yang benar adanya siswa siswi SMP satu kelas menonton bokep bareng-bareng, it’s so amazing worst. And speechless. Retorika FTV (film televisi) serta sinetron kejar tayang merasuk ke pikiran anak-anak (sebut : ABG)

Bagi anak yang terlanjur kaya, berusahalah untuk menghargai pembantu (jika punya pembantu), tetangga di depan rumah saya punya pembantu, dan pembantunya tidak di perbolehkan mencuci pakaian dalam majikannya, kalau saya menangkap mungkin alasan etika dan etis.

Selain itu tidak sungkan membaur dengan pembantu bahkan di lingkungan-lingkungan keluarga sederhana, dulu jaman saya sekolah dan ngampus, kehidupan lingkungan sekolah dan kampus membentuk kelompok-kelompok, yang “bodoh-bodoh” dengan yang “bodoh-bodoh”, yang suka hang out and shopping jalan bareng-bareng dan beragam lainnya pengelompokan itu.

Hasil dari penerapan ini, di harapkan berdampak positif bagi kepribadian anak, jangan pula mentang-mentang semuanya serba gampang, merasa anaknya bos, lalu se-enaknya mecat karyawan (mudah2n saya gak ngalamin, hihihi), sifat tau diri ini yang menurut saya akan muncul dengan sendirinya, jangan mentang-mentang orang kota yang kaya, lantas menghina orang kampung, padahal dulu keturunan keluarganya juga dari orang kampung.

Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, hanya menyesuaikan brand image kompasiana sharing and connecting. Terima kasih.

Salam damai,

Bandar Lampung, 12 Oktober 2014

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline