Kanjeng Ratu Kidul dan Segara Kidul, sebuah laut di sebelah selatan Pulau Jawa, seperti tak terpisahkan. Sebagai orang Jawa yang di hidup dan berorientasi pra-Islam, ia adalah kekuatan supranatural.
Seorang paranormal yang tinggal di Bantul, mengatakan bahwa "Kanjeng Ratu Kidul itu bukan setan, bukan jin, tetapi dewa. Ia punya tugas Mangayu Hayuning Bawana, berusaha mempersatukan bangsa-bangsa, menjaga perdamaian dunia dan menjadikan dunia aman."
Pandangan ini sebenarnya nyaris sama dengan pandangan mereka terhadap kekuasaan raja Jawa, perwakilan Tuhan yang memiliki kekuasaan di dunia. Perbedaannya terletak pada wujud, yaitu dapat atau tidaknya dilihat dengan mata telanjang.
Tahta Untuk Rakyat, Atmakusumah tahun 1982 halaman 103 mengungkapkan pengalaman mistis Sultan Hamengku Buwono IX dengan eyang Ratu Kidul:
Saya menyebutnya eyang Ratu Kidul. Dan saya pernah dapat kesempatan 'melihatnya' setelah menjalani ketentuan yang berlaku, seperti berpuasa selama beberapa hari dan sebagainya. Pada waktu bulan naik eyang Ratu Kidul akan tampak sebagai gadis yang amat cantik; sebaliknya apabila bulan turun, ia tampil sebagai wanita yang makin tua.
Dalam buku Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Tahta Untuk Rakyat secara netral dan tersamar mengungkapkan penjelasan tentang Laut Selatan dan Ratu Kidul:
Bagi saya, itu adalah format konsepsi dengan lambang perkawinan. Kalau masyarakat Jawa selama ini percaya dengan lambang perkawinan itu, berarti ada manfaatnya dengan masyarakat, khususnya, masyarakat Yogya. Tetapi, apa artinya saya kalau tidak tahu aspirasi masyarakat. Karena, lambang perkawinan itu adalah hubungan antara vertikal dan yang horizontal. Masyarakat disimbolkan sebagai laut yang begitu homogen dan tidak pernah berhenti bergerak. Hal ini menyiratkan bahwa sebagai pemimpin harus manjing ajur ajer. Satu pihak sebagai legitimasi, satu pihak sebagai simbolisasi.
Laut Selatan tidak dapat dipisahkan dengan Gunung Merapi dan Keraton Yogyakarta. Masyarakat Jawa percaya dengan adanya lampor. Ia merupakan barisan mahkluk halus dari Laut Selatan atau Gunung Merapi yang sedang mengadakan gladen maupun saling mengadakan kunjungan ke keraton Yogyakarta.
Menurut konsepsi orang Jawa, mereka menggunakan kuda maupun kereta kuda. Biasanya suara lampor terdengar 35 hari sekali dengan menimbulkan suara gemerincing di waktu sore hari menjelang Maghrib melewati sungai-sungai yang menghubungkan Gunung Merapi dan Laut Selatan melewati wilayah Keraton Yogyakarta.
Hubungan ini bersifat kekeluargaan antara lelembut Gunung Merapi dengan Laut Selatan. Sedangkan, Keraton Yogyakarta, Kanjeng Ratu Kidul adalah eyang para raja Kasultanan Yogyakarta.