Lihat ke Halaman Asli

Max Webe

yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

Karantina Masa Pandemi Mengancam Kesehatan Mental

Diperbarui: 23 Desember 2021   11:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Photo / NZ Herald)

Karantina seringkali menjadi pengalaman yang tidak menyenangkan bagi yang menjalaninya. Perpisahan dari orang yang dicintai, hilangnya kebebasan, ketidakpastian status penyakit, dan kebosanan terkadang dapat menciptakan efek dramatis Hal itu telah dibuktikan dalam sebuah kajian berjudul The psychological impact of quarantine and how to reduce it: rapid review of the evidence yang diterbitkan saat China, Italia, Prancis, dan Spanyol memberlakukan kebijakan lockdown atau penutupan wilayah demi meredam penyebaran virus corona (Covid-19).

Perbincangan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri menjadi perdebatan masyarakat baru-baru ini. Tak hanya karena pemberian dispensasi masa karantina terhadap pejabat, perkara karantina pun kembali disorot lantaran viralnya video antrean menuju Rumah Sakit Darurat Covid-19 (RSDC) Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta. Sebagaimana diketahui, Wisma Atlet menjadi lokasi karantina bagi WNI dengan kriteria khusus yang baru datang ke Indonesia setelah melakukan perjalanan luar negeri. Adapun kewajiban karantina bagi WNI pelaku perjalanan luar negeri tertuang pada Surat Edaran (SE) Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Nomor 25 Tahun 2021 Tentang Protokol Kesehatan Perjalanan Internasional Pada Masa Pandemi Covid-19.

Perbincangan aturan pelaku perjalanan luar negeri yang tak hanya pemberian dispensasi masa karantina terhadap pejabat dan pemerintah telah  memberlakukan karantina dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.  Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti merasa heran dengan aturan karantina yang kerap berubah-ubah, "Kenapa aturan begitu mudah berubah ? 1 minggu karantina, berganti jadi 5 hari .. berganti jadi 3 hari .. ini berlaku sd 2 mingguan yg lalu, mulai 3desember kembali ke 10 hari. Karantina penting tapi begitu mudah berubah. Banyak akhirnya tidak patuh. Yg patuh merasa tidak adil," kicaunya, 16 Desember 2021.

Lebih lanjut, ia juga heran kebijakan pemerintah yang pilih kasih,"Kenapa perbedaan itu ada karena yg sini pejabat & sono masyarakat, seingat sy virusnya sama. Mayarakat mau gratis wajar, pejabatnya juga boleh gratis di rumah sendiri, jadi ingat pesawat harus PCR, mobil tidak. sekarang orang tua sudah vaksin antigen cukup anak2 belum vaksin PCR".

Dalam kicauan selanjutnya, Susi bertanya satire,"Mohon pencerahan, kenapa pejabat &orang penting boleh karantina di rumah sendiri ??Kenapa masyarakat tidak boleh karantina di rumah sendiri ??Kenapa yg boleh berhemat atau jadi pelit cuma pejabat /vip??Kenapa masyarakat tidak boleh berhemat/ pelit ??kenapa cara karantina berbeda," kicauannya, 21 Desember 2021.

Terlepas dari perdebatan masyarakat. Di Amerika Serikat, ribuan orang telah menjadi sasaran karantina secara hukum atau menjalani "karantina sendiri." Pemerintah federal juga telah melarang masuknya warga negara non-AS yang bepergian dari China, Iran, dan sebagian besar Eropa dan menyaring penumpang yang kembali dari negara-negara yang terkena dampak parah. Namun, jumlah kasus dan kematian terus meningkat.

Studi pandemi yang dihadapi dari waktu ke waktu, seperti SARS, Ebola, H1N1, Flu Kuda, dan COVID-19 saat ini, menunjukkan bahwa efek psikologis dari penularan dan karantina tidak terbatas pada ketakutan tertular virus.  Aspek-aspek ini dapat menyebabkan konsekuensi dramatis, seperti munculnya kasus bunuh diri. Perilaku bunuh diri sering dikaitkan dengan perasaan marah yang terkait dengan kondisi stres.

Seperti yang dilaporkan dalam survei baru-baru ini yang dilakukan selama pandemi Covid-19, anak-anak dan dewasa muda sangat berisiko mengalami gejala kecemasan. Penelitian ini melibatkan sampel 1.143 orang tua dari anak-anak Italia dan Spanyol (kisaran 3-18). Secara umum, orang tua mengamati perubahan emosi dan perilaku pada anak-anak mereka selama karantina: gejala yang berhubungan dengan kesulitan berkonsentrasi (76,6%), kebosanan (52%), lekas marah (39%), gelisah (38,8%), gugup (38%), kesepian (31,3%), kegelisahan (30,4%), dan kekhawatiran (30,1%).

Sebagai konsekuensi dari pandemi, tenaga kesehatan yang terlalu banyak bekerja mengalami stres psikofisik tingkat tinggi. Tenaga kesehatan juga menjalani kehidupan sehari-hari dengan kondisi traumatis yang disebut secondary traumatic stress disorder, yang menggambarkan perasaan tidak nyaman yang dialaminya saat perawatan pasien tidak tersedia, harus memilih siapa yang dapat mengaksesnya dan siapa yang tidak. 

Dampak psikologis karantina, pentingnya individu untuk merasa menjadi bagian integral dari masyarakat, sebuah aspek yang sering diremehkan dalam kesejahteraan psikologis. Para ahli kesehatan masyarakat percaya bahwa jarak sosial adalah solusi yang lebih baik untuk mencegah penyebaran virus. Namun, meskipun tidak mungkin untuk memprediksi durasi pandemi, kita tahu dampak serius dari tindakan ini terhadap masyarakat, pada hubungan sosial dan interaksi, khususnya pada proses empatik. Pada awal 90-an, empati digambarkan sebagai bentuk identifikasi dalam keadaan psikologis dan fisiologis orang lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline