Lihat ke Halaman Asli

Max Webe

yesterday afternoon writer, working for my country, a reader, any views of my kompasiana are personal

Dosa Jurnalis Meliput Aksi Teror 14/1

Diperbarui: 16 Januari 2016   22:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

  

Dalam tulisan Apa Kabar Jonru? saya mengutip buku Panduan Jurnalis Meliput Terorisme yang disusun Tim AJI Jakarta, terdapat Sembilan Dosa Jurnalis Dalam Liputan Terorisme, 1) Mengandalkan Satu Narasumber Resmi; 2) Lalai Melakukan Verifikasi; 3) Malas Menggali Informasi di Lapangan; 4) Lalai Memahami Konteks; 5) Terlalu Mendramatisasi Peristiwa; 6) Tidak Berempati pada Narasumber; 7) Menonjolkan Kekerasan; 8) Tidak Memperhatikan Keselamatan dan Keamanan Diri; 9) Menyiarkan Berita Bohong. 

Sebuah berita mendadak --breaking news-- menyela siara rutin di sebuah televisi nasional. Pada jam awal tanggal 14 Januari 2016 itu, di Jalan Thamrin, Jakarta diserbu kelompok teroris. Terjadi baku tembak yang seru. Atas nama --breaking news-- beberapa stasiun televisi nasional gagal melakukan verifikasi dan mendapatkan sanksi teguran tertulis Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Program Jurnalistik “Breaking News” yang disiarkan oleh stasiun INEWS TV pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 11.15 WIB menampilkan informasi yang tidak akurat “Ledakan Juga Terjadi di Palmerah”. Program Jurnalistik “Breaking News” yang disiarkan oleh stasiun TVONE pada tanggal 14 Januari 2016 menampilkan informasi yang tidak akurat “Ledakan Terjadi di Slipi, Kuningan, dan Cikini”. Program Jurnalistik “Breaking News” yang disiarkan oleh stasiun Metro TV pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 11.20 WIB menampilkan informasi yang tidak akurat “Ledakan di Palmerah”. Walaupun disertai dengan keterangan dari Kabid Humas Mabes Polri bahwa masih dilakukan verifikasi kebenarannya, namun kalimat yang ditampilkan di layar tidak mencantumkan keterangan sesuai yang telah disampaikan. Program Jurnalistik “Indonesia Terkini” yang disiarkan oleh stasiun TVRI pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 13.27 WIB menampilkan informasi running text yang tidak akurat “Ancaman bom dilakukan di Palmerah, Jakarta dan Alam Sutera, Tangerang Selatan”. Bahkan, radio Elshinta tanggal 14 Januari 2016. Setelah tragedi ledakan yang terjadi di kawasan Sarinah, radio Elshinta beberapa kali menyampaikan berita bahwa terjadi ledakan di beberapa lokasi selain yang terjadi di kawasan Sarinah, Thamrin. 

Persoalan verifikasi juga dilakukan Warta Kota Online dalam berita Satpam Sarinah Ini Rela Mengorbankan Diri, Seret Teroris Bom Bunuh Diri ke Kantor Polisi judul ini dibuat dengan mengambil kisah dari media sosial yang diedarkan akun facebook Nanik Sudaryati berjudul SATPAM SARINAH ITU MUSTI DINOBATKAN SEBAGAI PAHLAWAN yang hingga tulisan ini dibuat sudah ada tanda jempol 67.866 orang, 95 komentar, dan 46.182 kali dibagikan. Meski kemudian, Warta Kota Online memberikan UPDATING Berita Satpam Sarinah Ada di Halaman Terakhir setelah Direktur Utama Sarinah (Persero) Ira Puspadewi mengklarifikasi kesimpangsiuran informasi terkait kronologi kejadian, "Tidak Ada Satpam Sarinah yang Jadi Korban Bom."

Selain gagal melakukan verifikasi, dosa jurnalis adalah terlalu mendramatisasi peristiwa. Seperti dalam laman Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), program jurnalistik “Patroli” yang disiarkan oleh stasiun Indosiar pada tanggal 14 Januari 2016 pukul 11.05 WIB. Program tersebut menampilkan potongan gambar yang memperlihatkan visualisasi mayat yang tergeletak di dekat Pos Polisi Sarinah yang merupakan lokasi peristiwa ledakan. Gambar tersebut ditayangkan tanpa disamarkan (blur) sehingga terlihat secara jelas. Hal serupa juga dilakukan stasiun TVONE dan stasiun INEWS TV.

Itulah dosa jurnalis dalam meliput aksi kelompok bersenjata, oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dianggap dapat menimbulkan keresahan masyarakat serta mempengaruhi masyarakat untuk percaya akan informasi tersebut. Jenis pelanggaran ini dikategorikan sebagai pelanggaran atas norma kesopanan, prinsip-prinsip jurnalistik yakni tidak memperhatikan keakuratan berita, dan larangan menampilkan gambar korban atau mayat secara detail dalam program siaran jurnalistik.

Tentunya, dalam meliput terorisme, selain melakukan verifikasi, selalu rajin menggali informasi di lapangan dengan mencari narasumber sebanyak-banyaknya, dan mendalami fakta-fakta yang masuk akal dari keterangan kepolisian atau keterangan versi konspirasi. Selama versi-versi tersebut masih diterima nalar sehat. 

Mendulang jempol, komentar, dan klik tentunya merugikan publik dan berdampak buruk bagi kejiwaan warga masyarakat.

 

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline