Pada tahun 1993 sudah muncul beberapa pandangan yang mengatakan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang dikategorikan sebagai soft target dalam hal terorisme. Pandangan ini muncul dalam konferensi internasional Combating Terrorism di Baguio City, Philipines. Argumen yang berada di balik pandangan tersebut mengangkat tiga elemen yang terkait satu dengan yang lainnya, lemahnya sistem keamanan nasional yang menyoroti kualitas dan kuantitas personel yang mengawasi sistem keamanan nasional, lemahnya piranti hukum yang menangkal aksi terorisme, dan Indonesia memiliki berbagai potensi yang dapat menjelma menjadi elemen terorisme.
Apalagi, peristiwa 11 September 2001 dengan mudah dapat disimpulkan sebagai tonggak monumental dalam sejarah. Tidaklah mengherankan jika kemudian banyak kalangan--terutama kaum realis--memandang peristiwa tersebut sebagai sebuah defining moment yang mengukuhkan isu terorisme sebagai ancaman keamanan.
Pandangan tersebut, nyatanya tidak meleset jauh karena sampai saat ini, Indonesia berada dalam bayang-bayang ancaman terorisme. Beberapa misal, target besar kelompok Santoso condong kurang serius ditangani dengan alasan persembunyian Santoso di wilayah pegunungan di Poso sulit dijangkau. Pengusutan tuntas akar terorisme dengan penyingkapan seluruh jejaring terorisme termasuk infiltran-infiltran yang mendorong individu maupun kelompok manapun untuk melakukan tindakan teror. Lalu, apakah ancaman terorisme sudah mereda?
Banyak pihak yang menyimpulkan bahwa upaya untuk memerangi aksi teror, adalah pekerjaannya Densus 88 Polri, BNPT, BIN dan TNI, pendapat tersebut memang benar dan hanya dari satu sudut, yaitu operasional di lapangan. Ada baiknya, menyimak landasan teoritik yang diperkenalkan Mao Zedong, membangun jaringan teroris dapat diumpamakan air dan ikan, dengan pemahaman bahwa semakin luas airnya akan semakin bebas pula ikan yang berenang. Bertolak dari falsafah ini maka upaya memerangi kegiatan teror, adalah membalik falsafah tersebut, untuk memudahkan menangkapikan itu, maka airnya harus dikeringkan. Berawal dari sana, dapat dengan mudah dimengerti bahwa tugas unit-unit anti teror adalah menangkap ikan, tetapi mudah pula untuk dipahami bahwa unit-unit tersebut tidak akan mampu mengeringkan airnya.
Yang dimaksud dengan ikan yaitu sel-sel teroris, sedangkan air adalah masyarakat bangsa di dalam suatu negara dengan segala keberadaannya. Apabila air dapat dipetakan kepada potret Indonesia maka gambarannya adalah masyarakat majemuk yang berjumlah mencapai sekitar 260 juta jiwa, tersebar pada hingga saat ini memang masih 17.500 pulau (Namun, jumlah tersebut berbeda dengan data yang dimiliki Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) yang memiliki data resmi 13.466 pulau) Dalam potret lebih rinci akan memperlihatkan mozaik demografi yang terdiri dari 300 sub etnik, (kata Anhar Gongong, lebih dari itu) mendiami hanya seribuan pulau, dan lokasinya berada di jalan silang dunia.
Upaya memerangi aksi teror berkaitan dengan mengeringkan airnya, perlu pemahaman semua aspek yang terkait sehingga dapat diambil langkah-langkah tepat. Kemudian, menangkap ikannya, artinya mengenali aktor dari semua aspek terkait. Pertama, mengenal ikan, bahwa organisasi teroris memiliki stuktur yang sangat kenyal. Pada prinsipnya ada beberapa layers, (1) The brain atau kelompok elit, (2) The executioner, unit pelaksana tugas khusus, (3) The supporting lines atau jajaran pendukung, misalnya membuat identitas palsu, penyandang dana, pelatih ketrampilan khusus, penyediaan tempat persembunyian atau safe house. Masalahnya, ialah belum tentu jajaran pendukung mengetahui tujuan sebenarnya organisasi yang mereka bela. (4) The mass, yaitu masa simpatisan yang jumlahnya relatif besar. Mereka ini belum tentu memahami tujuan organisasi yang mereka bela, akan tetapi organisasi mereka diakui oleh masyarakat dan dapat digerakkan untuk mempengaruhi situasi umum.
Terkait, mengenai air, ada beberapa aspek didalamnya, (1) Politik, aspirasi politik melandasi kepentingan teroris, peta politik domestik, dan peta politik regional-global. Dengan memahami peta besar politik, maka ada peluang untuk memangkas kepentingan teroris, bisa mendapatkan dukungan dari kekuatan politik domestik, dan begitu pula ada ruang untuk manuver politik di luar negeri. (2) Administrasi (baca: pemerintah) Banyak praktik di luaran sana, menempatkan kepala daerah sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap keamanan wilayahnya. Pemerintah (cq aparat keamanan) harus mampu mengisolasi wilayah kerusakan agar tidak merambat lebih luas, dan dapat segera mengisolasikan lokasi kejadian, daerah yang kritis (perimeter), daerah sekeliling (penyangga) dan daerah aman. (3) Operasional, kesiapan satuan anti teror akan berperan jika masalah yang dihadapi adalah bagaimana membentuk satu kesatuan operasi yang terbentang dari pusat sampai ke lokasi. Unsur esensial antara lain, kodal, striking team, komunikasi, dan lini pendukung.
Penguasaan terhadap ketiga aspek masih perlu didukung dengan aspek pengetahuan di bidang sosio-kultural, sosio-ekonomi, psikologi, media massa, perbankan, transportasi, kimiam pakar domain komputer dan teknologi informasi sudah menjadi kebutuhan pokok. Pada skenario tersebut, peran masyarakat (dalam bentuk ekstrimnya adalah citizen soldiers) dan peran fungsi bela negara merupakan tulang punggung di dalam aksi massal untuk memperkecil 'airnya'. Pertanyaannya, siapa yang berwenang untuk menangani pekerjaan tersebut? Dalam bahasa perumpamaan, siapa menangani manajemen 'mengeringkan air' apakah Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pertahanan, atau Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan. Dimana?
Kenyataan di lapangan sudah mendesak untuk berbenah dan alasan kuat, (1) sinyalemen komuniti international bahwa Indonesia tergolong soft target, (2) Keberadaan di segitiga emas kawasan Asia Tenggara, (3) intensitas illicit small arms trafficking menunjukkan angka cukup tinggi, (4) potensi intra state conflict sangat besar, kemungkinannya aksi teror sebagai alat perjuangan dijadikan alternatif utama, (5) Temuan tempat pelatihan teroris yang telah terungkap maupun belum.
Upaya memerangi aksi terorisme adalah kepentingan nasional yang mendesak kewaspadaan publik satu bahasa, satu sikap, dan satu pola tindak (institusi yang 'dititipi' tugas berkaitan dengan penangangan tindak terorisme). Perlu dipertimbangkan untuk memulai dengan merumuskan batasan mengenai teror yang dapat dijadikan acuan nasional, meninjau semua produk hukum yang berkaitan dengan aksi teror, termasuk konvensi internasional (dari 13 konvensi yang ada, Indonesia sudah menandatangani 4 konvensi dan meratifikasi 4 konvensi lainnya, sejauh pengamatan saya), mengevaluasi kemampuan nasional untuk anti teror, dan tingkat kesiapan nasional dan kebutuhan nyata dalam kerja sama dengan pihak luar.