[caption caption="Kompas, 16 Desember 2015 ' Arab Saudi Motori Koalisi Militer Islam'"][/caption]Sore, pukul 17.00 WIB, selepas pulang dari kantor, istirahat sejenak untuk menyempatkan diri membuka surat kabar pagi, Kompas edisi Rabu 16 Desember 2015. Tertarik laporan Kompas, "Setelah berhasil menghimpun sebagian besar kelompok oposisi Suriah pada pekan lalu, Arab Saudi kembali berhasil menggalang sebagian besar negara Islam untuk bersatu melawan terorisme. Arab Saudi mengumumkan pembentukan koalisi militer Islam yang beranggotakan 35 negara untuk memerangi teroris". Menurut wartawan Kompas, Musthafa Abd Rahman dari Kairo, melaporkan 35 negara yang bergabung dalam koalisi itu adalah Arab Saudi, Jordania, Uni Emirat Arab, Pakistan, Banglades, Bahrain, Benin, Turki, Chad, Togo, Tunisia, Djibouti, Senegal, Gabon, Guinea, Palestina, Komoro, Qatar, Pantai Gading, Kuwait, Lebanon, Libya, Maladewa, Malaysia, Mali, Mesir, Maroko, Mauritinia, Niger, Nigeria, Yaman, dan Uganda.
Masih dalam laporan tersebut, keterangan pers koalisi menjelaskan pembentukan Koalisi Militer Islam bertolak dari semangat kesepakatan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk memerangi teroris dalam segala bentuknya dan membasmi penyebab yang melahirkan teroris itu. Koalisi juga melaksanakan kewajiban melindungi umat Islam dari organisasi teroris dari berbagai latar belakang idologi dan mahab agama.
Saya mencermati 35 negara anggota koalisi militer Islam dan perhatikan dinamika hingga kini yang bertambah memanas di Libya, Tunisia, Palestina, Afghanistan dan Pakistan, Lebanon, Yaman, Mesir, dan beberapa negara Afrika, seluruhnya diwarnai nuansa radikalisme agama yang dipicu oleh operasi manipulasi psikologi canggih. "Bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi siapa pun yang telah mengikuti dan mempelajari kawasan Timur Tengah, bahwa kawasan ini tengah berhadapan dengan suatu kesulitan besar," menurut saya, 10 Desember 2015, ISIS di Pusaran Perkara Yinon.
Koalisi militer Islam yang dipimpin Arab Saudi dimaksudkan untuk melengkapi koalisi internasional Amerika Serikat untuk memerangi Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang terbentuk bulan September 2014. Sementara disisi lain, Amerika Serikat merupakan negara terkuat dari sisi politik, militer dan ekonomi yang sebenarnya mempunyai banyak permasalahan yang ditimbulkan dari kebijakan politik luar negerinya. Meski kebijakan politik luar negeri Amerika Serikat belum dapat dinyatakan mengancam keamanan dalam negeri Amerika Serikat, namun tidak ada yang tahu apa yang terjadi di masa mendatang.
Pantas untuk diingat, kalkulasi geopolitik dimana eksistensi negara Yahudi di kawasan Timur Tengah harus tetap dijaga oleh Amerika Serikat, karena posisi strategis guna menyikapi dinamika kawasan Timur Tengah. Perhatikan, perang intelijen merupakan perpanjangan perang dingin, setelah berakhirnya Perang Dunia II. Kondisi tersebut dipengaruhi perubahan strategik. Posisi pasukan Amerika Serikat di Afghanistan, Irak dan adanya sekutu negara Yahudi membuat Amerika Serikat mudah menguasai geopolitik kawasan Timur Tengah.
Pada era Perang Dingin, Amerika Serikat tentunya berhadapan dengan Blok Uni Soviet dimana sejumlah negara di kawasan Timur Tengah memiliki hubungan khusus dengan Uni Soviet. Hanya dalam kasus Suriah, Amerika Serikat harus memperhitungkan faktor Rusia dan China. Sementara dalam kasus Palestina - Negara Yahudi, Amerika Serikat lebih leluasa bermanuver dengan memperhitungkan keprihatinan dunia Arab dan negara-negara berpenduduk Muslim di dunia seperti Indonesia dan Malaysia.
Penjagaan Amerika Serikat atas eksistensi negara Yahudi di kawasan Timur Tengah bukan saja dalam rangka kontrol keamanan di kawasan Timur Tengah, melainkan juga sebagai proxy dalam mengendalikan konflik kawasan yang disebabkan oleh latar belakang sejarah dan kompleksitas perhitungan strategis karena faktor Iran dan Arab Saudi. Dalam tulisan ISIS di Pusaran Perkara Yinon cukup kasat mata atas apa yang dimaksudkan 'Penjagaan Amerika Serikat atas eksistensi negara Yahudi'. Arab Saudi, saya yakin sangat paham atas situasi tersebut, dan jelas bagaimana posisi Arab Saudi, mengutip dalam laporan Kompas edisi 16 Desember 2015, pengamat politik Arab Saudi, Jamal Koshakii kepada stasiun Al Jazeera, bahwa faktor yang mendorong pembentukan koalisi militer Islam itu adalah karena begitu terancamnya negara-negara Islam dari serangan teroris, serta intervensi sebagian negara Islam.
Tiba-tiba saya ingat untuk membuka Nostradamus: The Complete Prophecies for the Future, Kuatrain 9/51 "Contre les rouges sectes se banderont. Feu, eau, fer, corde par paix se minera. Au point mouir, ceux qui machineront. Fors un que monde surtout ruinera" (Mereka akan bersatu melawan sekte merah. Kedamaian akan dirusak oleh api, air, dan besi. Komplotan akan mati oleh pedang. Kecuali satu, yang akan dihancurkan oleh orang-orang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H