Pernyataan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo terkait adanya proxy war (disini) merupakan seruan kedua saat ia menjabat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal. Saat itu, pria lulusan Akademi Militer tahun 1982 ini, mengungkapkan soal proxy war dalam acara pertahanan Indonesia di Kantor Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta (disini).
Pertanyaannya, apakah peperangan? Apakah yang menimbulkan peperangan? Apakah akibat-akibat peperangan? Sepanjang sejarah, bentuk peperangan telah mengalami perubahan-perubahan sebagai akibat dari perkembangan dalam susunan negara dan masyarakat, sebagai akibat kemajuan-kemajuan dalam persenjataan dan alat-alat perang lainnya, dan sebagai akbat dari perubahan-perubahan pendapat umum mengenai apa yang patut dan apa yang tidak patut dalam suatu peperangan.
Mengutip rumus Jenderal Carl von Clausewitz yang terkenal itu, bahwa perang tidak lain merupakan diplomasi dengan cara lain. Perang merupakan kelanjutan dari diplomasi-diplomasi politik. Jika Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo mengingatkan saat ini Indonesia menjadi incaran negara asing di antaranya dengan melakukan proxy war (disini). Menurut saya, saat ini, bangsa Indonesia mengalami sebuah kegagalan diplomasi politik. Sebab, dalam situasi damai, diplomatlah yang berperang dan dalam kondisi perang, tentaralah yang turun ke medan peperangan.
Tentunya, peringatan Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI) Jenderal Gatot Nurmantyo ditempatkan dalam konteks suatu perebutan pengaruh oleh suatu kekuatan terhadap keberadaan suatu bangsa, di mana tanpa ada upaya penekanan secara fisik militer ketergantungan suatu negara terhadap negara lain sudah terjadi dalam kurun waktu tertentu. Ketergantungan adalah suatu produk mental kepribadian yang terbentuk melalui serangkaian upaya sebelumnya, baik melalui penetrasi ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Tahap-tahap proxy war yang dilancarkan oleh suatu aktor negara dan aktor non-negara sangat fleksibel disesuaikan dengan aspek yang menjadi sasaran di wilayah, keluasan obyek sasaran, media yang digunakan maupun waktu yang diperlukan, yang dianggap paling efektif dan efisien. Sesuai dengan tujuannya, penguasaan sumber daya negara-negara yang menjadi sasaran proxy war.
Apabila setiap tahap telah mampu melumpuhkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dari negara sasaran, maka kondisi tersebut akan dipertahankan selama dianggap lebih menguntungkan dalam arti memenuhi kepentingan nasional aktor negara dan aktor non-negara, baik kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi maupun militer dalam jangka panjang. Akan tetapi, bila belum mampu mencapai hasil yang dikehendaki, akan dilancarkan Perang Urat Syaraf sebagai penyiapan kondisi untuk melancarkan tahap invansi militer.
Di Indonesia, tahap dari proxy war sudah berjalan cukup lama, ditandai dengan maraknya narkoba, munculnya gerakan separatis, dan bentrokan fisik antar sesama anak bangsa yang dilatarbelakangi oleh aspek ideologi, politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi.
Persoalannya adalah bagaimana suatu bangsa, suatu negara mampu membaca kecenderungan akan terjadinya suatu upaya dari kekuatan lain terhadap bangsa dan negaranya, sehingga terhindar dari penjajahan paradigmatis atau upaya penetratif lainnya. Untuk menjawab hal ini, maka harapan tertuju pada suatu badan intelijen negara beserta instansi yang berada dalam koordinasinya, dengan segala kemampuan menyuguhkan produk intelijen yang berkualitas, antisipatif dan efektif yang mampu dijadikan pertimbangan utama pimpinan nasional negara tersebut dalam mengambil keputusan bagi negara yang dipimpinnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H