Lihat ke Halaman Asli

Mallaby, dibalik Tewasnya Sang Jenderal di Surabaya

Diperbarui: 4 April 2017   18:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1351610842235349471

Mobil AWS Mallaby

1351610974248124699

Gedung Internatio dari arah Jembatan Merah

Mallaby adalah seorang Perwira Muda Eksekutif Kerajaan Inggris dengan karir cemerlang. Lahir pada 12 Desember 1899, Mallaby harus menutup usianya menjelang ulang tahunnya yang ke-46 di Jembatan Merah Surabaya  dalam latar belakang yang sangat pelik saat itu.

Mallaby berpangkat Brigjen, komandan Brigade Infanteri ke-49 Divisi ke-23, Korps Tentara ke-15 Inggris Raya. Berkekuatan 6000 Prajurit Infanteri yang merupakan batalyon tempur spesialis perang kota dan spesialis persenjataan berat dan telah memenangkan pertempuran melawan Jepang di Birma sampai Semenanjung Malaya serta memenangkan perang melawan tentara Jerman di Afrika utara. Mendarat di Pelabuhan Perak Surabaya pada tanggal 25 Oktober 1945 petang hari bersama 3 kapal pengangkut pasukan serta beberapa kapal destroyer  bersenjata lengkap.

Mallaby adalah perwira yang merintis karir sebagai perwira staf. Mallaby sangat terampil dalam menjalankan segala macam penugasan sehingga pada usia 42 tahun mendpat promosi Jenderal berbintang satu. Selama perang dunia kedua, Mallaby menjabat perwira staff kepercayaan Laksamana Mountbatten, panglima tertinggi atas Komando Asia Tenggara (SEAC = South East Asia Command).

Asumsi Mountbatten menugaskan Mallaby adalah tugas menertibkan Surabaya sebagai kota pelabuhan terbesar di Asia Tenggara, pangkalan laut terpenting tetapi dengan resiko kegagalan terkecil.  Informasi yang dipegang oleh Intelijen SEAC di Singapura menyebutkan "Surabaya hanya akan dipertahankan oleh rakyat awam yang sama sekali belum bisa memegang senjata api dengan benar. Selain itu, mereka menamakan diri pemerintahan Republik Indonesia dan sama sekali belum memiliki pasukan militer.

Surabaya, tanggal 26 Oktober 1945. Shri Mani, seorang humas Brigade Infanteri ke-49 melukiskan Surabaya pada saat itu cerah cukup cerah. Kehidupan berjalan normal dengan para pedagang dan becak hilir mudik tidak menghiraukan kedatangan tentara Mallaby.  Shri Mani menggambarkan masyarakat Surabaya yang acuh-tak acuh tapi penuh kewaspadaan. Slogan-slogan anti kolonial di seluruh penjuru kota dicat dengan huruf-huruf besar pada tembok-tembok berbagai tempat strategis menyapa Tentara Inggris dengan sangat angkuh.  Tampak jelas pesan dalam bahasa Urdu "Azadi ya Kunrezi" yang berarti Merdeka Atau Mati. Terpampang pada tembok-tembok pelabuhan dan dermaga di Surabaya. Jelas pesan itu ditujukan pada mereka tentara Mallaby yang memang berasal dari India.

Shri Mani bersama Letnan Tony Cardew, seorang perwira Angkatan Laut Inggris dengan mengendarai jip memasuki kota menuju tempat penginapan mereka di Hotel Liberty. Sepanjang jalan mereka melihat dijaga ketat oleh polisi dan para pemuda bersenjata lengkap. Barikade-barikade sengaja didirikan ditengah-tenah jalan untuk menghambat arus lalu lintas. Ucapan selamat pagi yang Shri Mani sampaikan tak pernah dibalas oleh  para pemuda. Tidak seperti di Jakarta, dimana penduduknya menyambut pasukan Inggris dengan ramah. Surabaya sangat berbeda, Tidak ada isyarat ramah sedikitpun. Demikianlah keterangan Shri Mani dalam bukunya, The Story of Indonesian Revolution, 1945-1949. Buku tersebut kemudian diterbitkan dalam bahasa Indonesia tahun 1989 oleh PT. Pustaka Utama Grafiti dengan judul Jejak Revolusi 1945.

Shri Mani tentu tidak menyadari bahwa sehari sebelum mendarat, telah terjadi ketegangan antara tentara Inggris dan para Pejuang di Oedjoeng. Ketika kapal-kapal Inggris tersebut akan memasuki Teluk Surabaya,  mereka mengirim kode morse dengan isyarat lampu menanyakan situasi sekaligus memohon pihak penguasa pelabuhan untuk memandu pendaratan. Ternyata disini terjadi kesalahan komunikasi. Pasukan Republik selaku pengawal pantai tidak memahami kode-kode lampu tersebut. Sebaliknya pihak Inggris mengira Pelabuhan masih dikuasai pasukan Jepang. Pimpinan militer Inggris sama sekali tidak menduga bahwa Pelabuhan bahkan seluruh penjuru kota Surabaya telah berada sepenuhnya dalam kekuatan massa rakyat. Tetapi missed komunikasi tersebut tidak berkepanjangan, Markas TKR Kaliasin segera mengirim utusan ke Oedjoeng untuk bergerak ke Perak. Roeslan Abdoelgani bersama Des Alwi serta beberapa staff berangkat menuju ke Perak. Para pemuda meminta agar Inggris jangan terlebih dulu mendarat. Sementara seorang perwira Inggris dengan nada tinggi menegaskan. "We do not receive order from no body, ... we are going on land"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline