Sore tadi, sambil menunggu redanya hujan yang mengguyur Medan, saya menghabiskan waktu dengan membaca beberapa berita. Tanpa sengaja, saya membaca sebuah tulisan yang dibuat oleh sesama Kompasianer, yakni Syarifah Lestari yang berjudul "Adakah Wali MUrid Lain yang Sama Menderitanya Denganku?" Tulisan itu tentu saja berisi keluh kesahnya sebagai seorang wali murid yang kelimpungan dalam menghadapi pembelajaran daring di tahun jaran yang baru ini.
Jika beliau berkeluh kesah dalam sudut pandang sebagai seorang wali murid, maka izinkan saya melalui tulisan ini untuk berkeluh kesah pula dalam sudut pandang sebagai seorang guru.
Dalam pendidikan daring ini sebenarnya saya "sangat kecewa" karena banyaknya anggapan masyarakat di luar sana yang iri pada kami sebagai seorang guru.Profesi kami dianggap "kebal corona" karena meskipun dalam situasi seperti ini (pendidikan daring) gaji guru tetap berjalan sebagaimana biasanya.
Bahkan memasuki tahun ajaran baru yang penuh keprihatinan inipun, wali murid masih dibebani dengan sejumlah pengeluaran yang berkaitan dengan pendidikan buah hatinya di luar pengeluaran untuk kuota internet serta waktu yang harus disisihkan untuk bisa menemani pembelajaran daring dari si buah hati.
Yang bisa saya katakan adalah, anggapan masyarakat tersebut hanyalah "kulit luar" dari kehidupan kami sebagai seorang guru. Di luar, kami nampak hanya bersantai ria dan dengan mudahnya mengirimkan tugas-tugas serta video pembelajaran kepada siswa melalui grup wa dan kemudian tinggal menunggu umpan balik (pengumpulan tugas) dari siswa tanpa diketahui apakah tugas tersebut akan dinilai atau tidak.
Jikalau dibentuk grup wa yang jumlahnya seabreg, guru juga jarang memberikan respon alias slow respon. Namun, apakah masyarakat tahu bagaimana perjuangan seorang guru dalam mempersiapkan tugas dan materi yang akan dikirimkan kepada seorang siswa?
Bagaimana perjuangan seorang guru dalam menciptakan video pembelajaran yang menarik agar anak-anak didiknya tidak membanding-bandingkan mereka dengan aplikasi belajar online seperti "Ruang Guru" dan sejenisnya yang kini tengah gencar berpromosi?
Saya dapat dengan yakin mengatakan "TIDAK". Masyarakat pastinya tidak tahu dan mungkin tidak mau tahu karena menganggap bahwa itu semua sudah menjadi kewajiban dari seorang guru.
Sebagian besar guru-guru di Indonesia tidak memiliki pengalaman mengajar dalam situasi seperti saat ini, bahkan sebagian besar guru sangat jarang bersentuhan dengan hal-hal berbau teknologi sebelumnya.
Hal ini bukan dikarenakan guru tersebut malas, melainkan banyak hal-hal administratif yang harus dipersiapkan oleh seorang guru sebelum mengajar di satu kelas, sebut saja RPP, Prota, Prosem, alat peraga, belum lagi instrumen penilaian. INGAT!! RPP satu lembar baru berlaku sejak era Nadiem sebagai Mendikbud.